Dua kekuatan Dian Hartati (DH)
dalam puisi-puisinya adalah kesederhanaan dan imajinasi. Cerita yang sebenarnya
kecil, jamak, lekat, dekat dan terlihat, namun digambarkan dengan imajinasi tak
biasa. Imajinasi yang terasa ringan tanpa beban, jenaka, ceria, tidak
sentimentil, tidak satir dan tidak menyindir, tanpa mengurangi nilai-nilai yang
disampaikan. Puisi yang tidak berlebihan, tepat porsi dan sarat gizi.
Semula saya berpikir puisi adalah
sebuah karangan terikat sebagaimana definisi yang telah ditanamkan oleh
guru-guru jaman kita sekolah dulu, dituliskan dalam buku-buku materi
pembelajaran sastra dan bahasa Indonesia, dan bahkan secara resmi tercatat
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kurang lebih disebutkan dalam definisi
tersebut bahwa puisi adalah karangan yang terikat oleh rima, matra, penulisan
bait, dan gubahan serta larik-lariknya. Semua ada aturannya. Bunyi, jumlah,
diksi, persajakan dan semua kerumitan-kerumitan itu.
Semakin mempelajari dan membaca
puisi dan berbagai literatur, yang saya temui adalah ambiguitas. Sedikit demi
sedikit akhirnya saya harus melepas definisi. Beberapa puisi dan penyair masih
bertahan dengan “ikatan-ikatan” puisi. Bahwa rima, nada, diksi dan jumlah suku
kata merupakan elemen yang tetap “melekat” pada puisi.
Saya sendiri sedikit menulis
puisi, dan sulit melepas apa yang kadung
rekat dalam benak saya tentangnya. Definisi dan perkembangan puisi yang sangat
luas dan berubah-ubah secara subjektif inilah yang sering menjadikan saya terus
bertanya, apa definisi yang paling tepat dari puisi. Sebagian besar penyair
modern membebaskan puisi dari ikatan-ikatan. Sebagian lagi masih merasa perlu
mempertahankan kestabilan definisi. Semua soal subjektifitas. Dan memang,
subjektifitas inilah yang menjadi kekuatan puisi. Begitu utuh, multitafsir.
Hingga akhirnya saya membaca Upacara Bakar Rambut (UBR) ini.
Ini bukan hal yang mudah,
melepaskan puisi dari ikatan-ikatan sebagaimana galibnya puisi yang telah kita
kenali, yang telah menjadi kesepakatan dan telah tercatat secara resmi di
lembaga kebahasaan. Inilah yang menjadi kekuatan besar DH. DH menyuguhkan
kebebasan. Ia membebaskan setiap kata dalam puisinya menyusun imajinasinya
sendiri. Dan tentu saja, untuk semua itu, selalu ada yang dipertaruhkan.
Mengabaikan matra, melepaskan sajak, dan membebaskan rima, merupakan kerja
besar penuh resiko, karena notabene semua itu elemen penting puisi. Dan DH
membuktikan semua itu dengan menyusun kekuatan yang lebih besar dari puisinya :
imajinasi.
DH seolah tidak tidak perlu
berburu kata-kata puitis, persajakan, menggali-gali kata, fakta, ataupun
upaya-upaya yang biasa dilakukan penyair demi “panggung baca” yang indah, demi
gaung yang tepat untuk lekat di hati pembaca, demi performance dengar yang menghanyutkan.
DH membangun imajinasi justru
ketika kata benar-benar terbebas. Kata menjadi kebas dari semua definisi yang
dituntutkan puisi. Dan semua itu secara total dimulai dari awal, dari judul
yang ditampilkan. Dapatlah kita cermati kembali judul-judul dalam buku puisi
ini : Ikan yang Pusing, Laut Telah Pindah
Rumah, Keluarga Spora, Rasa Bumbu Kuning, Malam-malam Menyeberang di Laut,
dst. Subjektif saya katakan, untuk ukuran puisi, ini bukan judul yang puitis
apalagi romantis. Namun puisi ini telah membuktikan panggung yang dibentuknya
sendiri. Imajinatif. Saya akan mengambil satu sampel puisi yang cukup mewakili
untuk ulasan ini.
Ikan yang
Pusing
pagi-pagi sekali pasar kudatangi
sepi tak ada peminat
hanya ombak yang bergulungan
menyampaikan buih sampai di pijakan
memang tak ada angin
tapi, ombak berlarian mempermainkan ikan-ikan
aku mencari daratan yang lain
barangkali saja pedagang pindah tempat
sebab pasar jadi laut
dan laut pindah ke tengah kota
aku mendengar orang-orang berbisik
ramai sekali
seperti angin yang mengikuti
banyak mata di belakang
aku rasa itu mata ikan
Menganggap aku nelayan yang punya umpan
segera aku berbalik
banyak patung ikan muncul di lautan
ombak kian mengganas
ombak menyeret nyawa-nyawa
termasuk ikan
dan aku memilih menu yang lain
Kalau boleh saya membayangkan
tentang peristiwa yang disampaikan dari puisi di atas adalah peristiwa alam
yang besar. Peristiwa hebat yang menyangkut nyawa dan keselamatan manusia.
Namun dalam puisi tersebut penyair menggambarkan dengan cara yang ringkas,
dengan potret abstrak yang sederhana. Kita seperti disodori mozaik gambar yang
diterjemahkan secara pendek saja: pergi ke pasar, orang-orang ribut, dan air
laut meluap. Begitu sederhana dan simple saja. Sementara peristiwa yang
sebenarnya terjadi sangatlah heboh, setidaknya banjir bandang atau tsunami.
Air laut yang pasang, manusia
terancam hanyut, dan keadaan yang demikian genting. Semua itu diungkapkan
dengan partitur datar, seolah penyair membawa kita untuk membayangkan peristiwa
biasa yang terjadi sehari-hari, yang bisa diungkap dengan bahasa lisan yang
diungkapkan pada mitra bicara secara dekat. Tanpa sajak, tanpa rima, tanpa
aturan paten puisi. Dengan gambar puzzle sederhana yang acak, dan seolah tidak
saling berhubungan. Puisi yang mengungkapkan hal besar dengan begitu sederhana
namun lugas. Puisi DH ini mengantarkan saya pada kesadaran: tidak perlu
bertele-tele dalam mengungkapkan sesuatu yang besar. Puisi-puisi yang
dilahirkan untuk menceritakan sesuatu (musibah, dalam puisi ini) dengan cara
yang tabah, ringan saja. Puisi yang easy
come easy go. Tidak menuntut, dan tidak memaksa pembaca dengan kata-kata
puitis yang berat dan butuh perenungan lebih dalam untuk memahaminya.
Dengan kesederhanaan imajinasi
ini pada akhirnya memunculkan keriangan-keriangan kecil. Kebahagiaan yang
terselip dalam puisi, apapun tema yang ditampilkan. Puisi-puisi DH mampu
menampik rasa duka, sentimentil, atau pula rasa haru dari kisah yang disampaikan
dalam puisi, dari kisah sehari-hari yang dituangkan dalam puisi. Ini tidak
mudah, menciptakan warna yang ceria dari hal-hal yang mengharukan dalam bentuk
puisi.
Hal ini muncul juga pada beberapa
puisi yang bercerita tentang kematian, tentang kepergian seorang terkasih yang
ada pada judul Aku Mencintaimu Bersama
Kematian yang Datang, Begitu Aku Berbisik di Telingamu, Menghapusmu, Kes..,
Berjalan di Bawah Keranda, dan yang paling lucu adalah puisi Wangi Bunga yang Mengikuti, lagi-lagi
saya berhadapan dengan kebebasan itu, dengan imajinasi-imajinasi konyol itu,
dengan kepingan-kepingan puzle yang terpotong acak itu, dengan kejenakaan itu.
Kematian, yang seharusnya merupakan hal yang sacral dan pahit, tiba-tiba kita
disajikan pada kekonyolan tingkah manusia yang menanggapinya, dan DH menulis
dengan gambar simple saja. Dengan diksi ringan tanpa mengurangi emosi puisi.
Kita bisa menikmati perasaan sentimentil, duka dan ke-belum-relaan perasaan
ditinggalkan oleh kekasih yang meninggal.
Sedikit saya nukilkan puisi Wangi Bunga yang Mengikuti:
saat aku mencuci baju,
wangi bunga datang lagi
kau tahu, ini kali pertama
aku mencuci tanpa bajumu
(Wangi Bunga yang Mengikuti)
Aneh
memang, kata atau lebih tepatnya kegiatan mencuci
baju masuk dalam diksi dan bahkan fragmen sebuah puisi. Tapi toh saya terharu juga. Toh saya tersenyum juga. Dan inilah yang
saya sebut sebagai magis itu. Ketika dengan diksi yang sederhana, lugu, ringan,
santai dan lekat dengan kehidupan sehari-hari, penyair mampu menggali perasaan
dan keterharuan pembaca. Puisi yang mampu menghadirkan perasaan sentimentil,
romantika, kronik, dalam kegiatan atau ungkapan sederhana. Saya pikir itu bukan
hal yang mudah, apalagi menjadikannya dalam bentuk puisi. Dan ini terjadi pada
rataan puisi dalam buku ini. Dan ini membuat saya semakin percaya, bahwa
terlepas dari karya sastra, kejenakaan adalah unsure utama kecendekiaan.
Tidak banyak penyair yang bisa
melakukan ini, yang secara gembling melepaskan puisi dari ikatan-ikatan definisi.
Melepaskan puisi dari tuntutan yang mengikatnya. Puisi yang diksi dan
kata-katanya tidak sentimentil, yang kata-kata di dalamnya membebaskan diri
untuk menyusun ceritanya sendiri, dan membiarkan kata-kata berkembang menyusun
fragmen tanpa penyair harus menyelaraskan aksi panggung pembaca.
Puisi, dengan segenap kekuatan
dan kelemahannya mengajak pembaca untuk berkelana menjajagi bentuk kata
dan imajinasi. Puisi sebagai refleksi
diri. Puisi sebagai rahim dari keresahan yang lahir oleh waktu. Bahwa dengan
puisi, seorang penyair harus dibebaskan, bukan dikekang. Bahwa dengan puisi,
seorang penyair dan pembaca dapat merasa bahagia. Buku UBR ini telah
membuktikan kepada saya tentang itu semua. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar