Senin, 24 Februari 2014

(Buku Bicara) Jurai: Memaknai Pengorbanan, oleh Supriyadi



Lagu Iwan Fals; Ibu
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah... penuh nanah

Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu

Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas...ibu...ibu....

Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu

Membaca Jurai (2013) mengingatkanku pada lagu Iwan Fals berjudul Ibu. Novel Jurai dan lagu ibu menjadi paduan serasi. Entahlah, selama membaca Jurai sudah berapa kali lagu itu ku putar.
Awalnya membaca novel ini saya seperti bernostalgia dengan kembali dengan cerita Keluarga Cemara yang dahulu pernah ditayangkan oleh salah stasiun televisi swasta. Film bertemakan keluarga yang begitu populer di tahun 90-an, sampai 412 episode (1996-2005). Dugaan itu semakin kuat saat melihat detail cover buku ini dan membaca sinopsisnya. Mengambil tagline ‘Kisah Anak-Anak Emak di Setapak Impian’, berilustrasi sampul gaya Botchan.
Kenangan  film Keluarga Cemara semakin lekat. Dimana ada Abah, Emak, Teh Euis, Ara, Agil, Pipin, Tante Plesir, Mang Jana, Ceu Salmah, dan Bi Eha. Kehidupan yang mereka jalani mirip dengan Catuk dan emak-nya dalam novel ini.
Memang sejak awal penulis, Guntur Alam, sengaja mendaulat Catuk sebagai tokoh utama. seorang Bujang kecil, bungsu dari empat bersaudara. Walau Catuk didaulat sebagai tokoh utama, namun sesungguhnya ruh penggarak utama dalam novel ini adalah sosok Emak (ibu). Ketokohan Emak begitu kuat sebagai refleksi dari kegigihan, semangat pantang menyerah, dan pengorbanan kaum ibu demi kebahagiaan anak-anaknya.
Adegan ditipu berulang kali justru mendorong tekad bercampur amarah. Emak tetap ber-tirakat demi menyekolahkan keempat anaknya. Menyadap getah karet, berjualan kemplang, berjualan sayur secara keliling, sampai kemudian nekat merantau ke Muara Enim sebagai buruh cuci sekaligus menjajakan makanan di kantin sekolah.
 Penggabaran serupa, tentang perjuangan seorang ibu demi anak-anaknya, juga bisa ditemui dalam novel Para Priyayi (Umar Kayam, 1992). Demi anaknya (Lantip) agar bisa meniti status sosial dari rakyat jelata menjadi kaum priyayi. Ibunya rela jualan keliling berkilometer. Bahkan hingga di ujung usia rela mengorban nyawanya demi kebahagian Lantip di masa mendatang. Benarlah dalam firman, bahwa perubahan nasib seseorang ditentukan oleh orang itu sendiri. Walau benar juga bahwa takdir hanya Tuhan yang tahu. Dia yang mengatur kematian, jodoh, dan rezeki.
Saya menduga novel Jurai ini ditulis berdasarkan biografi si penulis sendiri seperti pengalaman Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi. Walau keduanya tidak secara eksplisit menyebut nama mereka dalam novel. Masing-masing lebih memilih menggunakan pseudonym (nama samaran). Dalam Laskar Pelangi Andrea Hirata menyebut dirinya Ikal, sedangkan dalam Jurai, Guntur Alam menyebut dirinya Catuk. Ini sekedar dugaan saja, melihat paragraf terakhir pada cerpen Jurai yang dimuat Kompas, 3 April 2011 silam: Itulah sekisah, tentang juraiku yang diramalkan orang se-Tanah Abang. Hendak percaya, atau tidak: Sejatinya, aku tak berharap itu nyata.
Novel ini semakin mirip Laskar Pelangi saat membandingkan garis besar ide cerita didalamnya. Kisah sekumpulan anak-anak dari dusun, berkompetisi antar sekolah, menjalin persahabatan yang dalam novel ini Catuk bersama Noyok, Sarpin, Gedo, Ivan, Pangki, Kus, Ci Rika, dan Gunawan. Bahkan sampai kisah asmara antara Catuk (Jurai) dan Ikal (Laskar Pelangi) pun hampir sama. Terutama saat jatuh cinta pada pandangan pertama. Tiba-tiba saja hatinya tertambat pada seorang gadis yang lentiknya jarinya dan memiliki kuku-kuku rapi.
Namun ada kebijaknaan cinta dalam novel Jurai. “Kita terlalu muda untuk menentukan pilihan sekarang, bujang. Biarkan semua matang pada waktunya. Akupun tak ingin memupus harap yang mekar di dada Kus. Ah, kau tahulah. Ia pun suka pada bibimu yang cantik itu.” (Bab 6, hal77)
Perbedaan paling mencolok pada novel ini yaitu elaborasi penulis terhadap sosok seorang ibu. Yang mana kisah Ibu tidak mendominasi dalam Laskar Pelangi.

Penipuan dan Pendidikan
Mozaik yang cukup menarik dalam novel ini yaitu kisah penipuan dan perjuangan menggapi pendidikan. Dalam hal tipu-menipu, penulis sepertinya ingin mengabarkan bahwa orang menipu di negeri ini adalah hal yang biasa. Akhrinya koruptor semkain menjamur. Perilaku tipu-menipu dikisahkan dalam beberapa episode kehidupan Emak dalam novel ini.
…Seperti biasa, pagi itu Ebak berangkat ke kebun Toge Nagap majikannya untuk menyadap getah karet. Namun siangnya Ebak justru pulang ke limas atau rumah tanpa nyawa. Konon Ebak meninggal karena diamuk babi hutan. Tapi belakangan, penyebab kematian Ebak terbongkar. Ebak mati karena ditabrak-dilindas sepeda motor yang dikemudikan anak Toge Nagap yang rupa-rupanya pada hari itu baru belajar mengendarainya.
Untuk mengelabui mata keluarga Ebak, Toge Nagap meminta Marwan; pegawainya yang saat itu ada di tempat kejadian berdusta perihal penyebab kematian Ebak. Sementara itu, Toge Nagap yang tahu bahwa Emak; istri Ebak sekaligus ibu Catuk buta huruf, justru membuatkan surat pernyataan yang berisi: Emak tidak akan menuntut apa pun dari peristiwa itu. Dengan kebodohannya akan baca-tulis, Emak justru membubuhkan cap jempol di surat itu (halaman 109-110).
Penipuan dan kemalangan yang menimpa keluarga Catuk tidak berhenti sampai di situ. Di suatu petang yang basah, limas Catuk kedatangan tiga orang asing yang mengaku berasal dari Palembang: seorang wanita beserta dua anak (lelaki-perempuan). Setelah berbasa-basi sekadarnya, mengakulah wanita itu bahwa dia adalah istri kedua Ebak. Kontan pengakuan itu seperti gelegar petir di siang bolong bagi pendengaran Catuk sekeluarga. Lebih-lebih saat wanita itu menuturkan pernikahannya dengan Ebak dilangsungkan atas restu Emak lewat surat buatan Ebak yang diberi cap jempol Emak. Sekali lagi, ketidakmampuan Emak untuk membaca-menulis dimanfaatkan orang demi memuluskan kehendaknya! (halaman 125-127).
Didorong semangat, amarah, mungkin juga kehendak melampiaskan dendam, tiba-tiba membuat Emak bertekad menyekolahkan keempat anaknya; tiga gadis satu bujang, setinggi mungkin semata agar tidak mudah ditipu seperti dirinya. “Kalian tak boleh buta huruf. Kalian tak boleh bodoh. Sekolah yang tinggi, biar tak ditipu.” (halaman 152).
Para orang tua saat ini benar-benar memiliki harapan besar pada pendidikan formal. Semoga pendidikan dikelas mampu menghantarkan siswa pada konsep Ki Hadjar Dewantara ngerti, ngrasa, lan nglakoni  (Bagian Pertama Pendidikan: 1977)
Walau sebenarnya kita juga harus ingat pesan RA. Kartini (1903): “Hanya sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat. Lingkungan keluarga (orang tua) harus membantu juga. Malahan lebih-lebih dari lingkungan keluargalah, yang seharusnya datang kekuatan mendidik”.

Gender
Perlawan terhadap perbedaan gender sejak awal begitu menggaung di novel ini. Semakin diperjelas di bab-bab terakhir lewat percakapan orangtua Emak dan Ebak. Bagi mereka perempuan tak harus sekolah tinggi, sekolah tamat SMP itu sudah cukup.
Buat apa jauh-jauh bekerja di rantau semata untuk menyekolahkan tiga gadis—selain satu bujang tentunya? Toh pada akhirnya setelah menikah gadis-gadis hanya akan mengurus rumah, balik lagi ke dapur! “Apa kata orang sedusun nantinya? Janda Arianton bin Mustofa meninggalkan limas ke kota demi mengangkat anak gadisnya. Kau ada bujang. Tugas kau untuk mengangkatnya sambil merawat limas. Kelak, bila ia sudah besar dan cukup umur, anak bujang yang mengangkat kehormatanmu. Bukan anak gadis!” (halaman 276).
Konsep inilah yang dahulu di tentang Kartini. Dari perempuanlah pertama-tama manusia itu menerima didikannya, di haribaannyalah anak itu merasa, berfikir dan berkata-kata” tulis Kartini dalam suratnya kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon.
Karena pendidikan yang dilakoni perempuan akan melahirkan generasi-genarasi yang beradab. “Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-sekali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibanya, kewajiban yang di serahkan alam sendiri kepada tangannya, menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).

Salam Cinta
Jika bicara mengenai kukurangan buku ini ada dua. Pertama, ada begitu banyak catatan kaki mengenai istilah, sajak-sajak, dan berbagai hal yang digunakan penulis dalam ini. Mungkin akan lebih nyaman bagi pembaca jika istilah, sajak-sajak, dan berbagai hal yang ada pada catatan kaki diberikan pada halaman tersendiri. Di akhir bab atau di akhir buku.
Kedua, tokoh anak-anak yang digambarkan dalam novel ini terlalu dewasa dan bijaksana. Bahkan, saya sulit percaya beberapa percakapan dalam dialog itu diucapkan oleh anak-anak SD. Cara berpikir mereka terlalu matang di usia itu. Seperti saat Gunawan menyadarkan Catuk agar tidak berlarut-larut dengan masalahnya. “Lantas apa yang kau dapat? Ebak kau akan hidup lagi? Emak kau urung dimadu? Kau tak punya saudara tiri? Begitu?” tanyanya membabi buta.” (Bab 10, hal. 137). “Kami sayang kau. Kami tak hendak lihat kau murung terus sepanjang masa. Tapi kami tak bisa berbuat apa-apa. Kami terlalu ingusan untuk paham yang kau rasa.” (Bab 10 hal 138).
Selebihnya semoga pembaca Jurai semakin cinta, hormat, sekaligus syukur pada sosok ibu. Seorang perempuan mulia yang konon memiliki pintu surga di bawah telapak kakinya. Amin.
 

Santri Tadarus Buku di Bilik Literasi Solo

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar