Lagu Iwan Fals; Ibu
Ribuan kilo jalan yang kau
tempuh
Lewati rintang untuk aku
anakmu
Ibuku sayang masih terus
berjalan
Walau tapak kaki, penuh
darah... penuh nanah
Seperti udara... kasih yang
engkau berikan
Tak mampu ku
membalas...ibu...ibu
Ingin kudekat dan menangis di
pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai
masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur
tubuhku
Dengan apa
membalas...ibu...ibu....
Seperti udara... kasih yang
engkau berikan
Tak mampu ku
membalas...ibu...ibu
Membaca Jurai (2013)
mengingatkanku pada lagu Iwan Fals berjudul Ibu. Novel Jurai dan
lagu ibu menjadi paduan serasi. Entahlah, selama membaca Jurai
sudah berapa kali lagu itu ku putar.
Awalnya membaca novel ini
saya seperti bernostalgia dengan kembali dengan cerita Keluarga Cemara
yang dahulu pernah ditayangkan oleh salah stasiun televisi swasta. Film
bertemakan keluarga yang begitu populer di tahun 90-an, sampai 412 episode
(1996-2005). Dugaan itu semakin kuat saat melihat detail cover buku ini dan
membaca sinopsisnya. Mengambil tagline ‘Kisah Anak-Anak Emak di Setapak
Impian’, berilustrasi sampul gaya Botchan.
Kenangan film Keluarga Cemara semakin lekat.
Dimana ada Abah, Emak, Teh Euis, Ara, Agil, Pipin, Tante Plesir, Mang Jana, Ceu
Salmah, dan Bi Eha. Kehidupan yang mereka jalani mirip dengan Catuk dan
emak-nya dalam novel ini.
Memang sejak awal penulis,
Guntur Alam, sengaja mendaulat Catuk sebagai tokoh utama. seorang Bujang kecil,
bungsu dari empat bersaudara. Walau Catuk didaulat sebagai tokoh utama, namun
sesungguhnya ruh penggarak utama dalam novel ini adalah sosok Emak (ibu).
Ketokohan Emak begitu kuat sebagai refleksi dari kegigihan, semangat pantang
menyerah, dan pengorbanan kaum ibu demi kebahagiaan anak-anaknya.
Adegan ditipu berulang kali
justru mendorong tekad bercampur amarah. Emak tetap ber-tirakat demi
menyekolahkan keempat anaknya. Menyadap getah karet, berjualan kemplang,
berjualan sayur secara keliling, sampai kemudian nekat merantau ke Muara Enim
sebagai buruh cuci sekaligus menjajakan makanan di kantin sekolah.
Penggabaran serupa, tentang perjuangan seorang
ibu demi anak-anaknya, juga bisa ditemui dalam novel Para Priyayi (Umar
Kayam, 1992). Demi anaknya (Lantip) agar bisa meniti status sosial dari rakyat
jelata menjadi kaum priyayi. Ibunya rela jualan keliling berkilometer. Bahkan hingga
di ujung usia rela mengorban nyawanya demi kebahagian Lantip di masa mendatang.
Benarlah dalam firman, bahwa perubahan nasib seseorang ditentukan oleh orang
itu sendiri. Walau benar juga bahwa takdir hanya Tuhan yang tahu. Dia yang
mengatur kematian, jodoh, dan rezeki.
Saya menduga novel Jurai
ini ditulis berdasarkan biografi si penulis sendiri seperti pengalaman Andrea
Hirata dalam Laskar Pelangi. Walau keduanya tidak secara eksplisit
menyebut nama mereka dalam novel. Masing-masing lebih memilih menggunakan pseudonym
(nama samaran). Dalam Laskar Pelangi Andrea Hirata menyebut dirinya
Ikal, sedangkan dalam Jurai, Guntur Alam menyebut dirinya Catuk. Ini
sekedar dugaan saja, melihat paragraf terakhir pada cerpen Jurai yang
dimuat Kompas, 3 April 2011 silam: Itulah sekisah, tentang juraiku yang
diramalkan orang se-Tanah Abang. Hendak percaya, atau tidak: Sejatinya, aku tak
berharap itu nyata.
Novel ini semakin mirip Laskar
Pelangi saat membandingkan garis besar ide cerita didalamnya. Kisah
sekumpulan anak-anak dari dusun, berkompetisi antar sekolah, menjalin
persahabatan yang dalam novel ini Catuk bersama Noyok, Sarpin, Gedo, Ivan,
Pangki, Kus, Ci Rika, dan Gunawan. Bahkan sampai kisah asmara antara Catuk (Jurai)
dan Ikal (Laskar Pelangi) pun hampir sama. Terutama saat jatuh cinta
pada pandangan pertama. Tiba-tiba saja hatinya tertambat pada seorang gadis
yang lentiknya jarinya dan memiliki kuku-kuku rapi.
Namun ada kebijaknaan cinta
dalam novel Jurai. “Kita terlalu muda untuk menentukan pilihan sekarang, bujang.
Biarkan semua matang pada waktunya. Akupun tak ingin memupus harap yang mekar
di dada Kus. Ah, kau tahulah. Ia pun suka pada bibimu yang cantik itu.” (Bab 6,
hal77)
Perbedaan paling mencolok
pada novel ini yaitu elaborasi penulis terhadap sosok seorang ibu. Yang mana
kisah Ibu tidak mendominasi dalam Laskar Pelangi.
Mozaik yang cukup menarik
dalam novel ini yaitu kisah penipuan dan perjuangan menggapi pendidikan. Dalam
hal tipu-menipu, penulis sepertinya ingin mengabarkan bahwa orang menipu di
negeri ini adalah hal yang biasa. Akhrinya koruptor semkain menjamur. Perilaku
tipu-menipu dikisahkan dalam beberapa episode kehidupan Emak dalam novel ini.
…Seperti biasa, pagi itu Ebak
berangkat ke kebun Toge Nagap majikannya untuk menyadap getah karet. Namun
siangnya Ebak justru pulang ke limas atau rumah tanpa nyawa. Konon Ebak
meninggal karena diamuk babi hutan. Tapi belakangan, penyebab kematian Ebak
terbongkar. Ebak mati karena ditabrak-dilindas sepeda motor yang dikemudikan anak
Toge Nagap yang rupa-rupanya pada hari itu baru belajar mengendarainya.
Untuk mengelabui mata
keluarga Ebak, Toge Nagap meminta Marwan; pegawainya yang saat itu ada di
tempat kejadian berdusta perihal penyebab kematian Ebak. Sementara itu, Toge
Nagap yang tahu bahwa Emak; istri Ebak sekaligus ibu Catuk buta huruf, justru
membuatkan surat pernyataan yang berisi: Emak tidak akan menuntut apa pun dari
peristiwa itu. Dengan kebodohannya akan baca-tulis, Emak justru membubuhkan cap
jempol di surat itu (halaman 109-110).
Penipuan dan kemalangan yang
menimpa keluarga Catuk tidak berhenti sampai di situ. Di suatu petang yang
basah, limas Catuk kedatangan tiga orang asing yang mengaku berasal dari
Palembang: seorang wanita beserta dua anak (lelaki-perempuan). Setelah
berbasa-basi sekadarnya, mengakulah wanita itu bahwa dia adalah istri kedua
Ebak. Kontan pengakuan itu seperti gelegar petir di siang bolong bagi
pendengaran Catuk sekeluarga. Lebih-lebih saat wanita itu menuturkan
pernikahannya dengan Ebak dilangsungkan atas restu Emak lewat surat buatan Ebak
yang diberi cap jempol Emak. Sekali lagi, ketidakmampuan Emak untuk
membaca-menulis dimanfaatkan orang demi memuluskan kehendaknya! (halaman
125-127).
Didorong semangat, amarah,
mungkin juga kehendak melampiaskan dendam, tiba-tiba membuat Emak bertekad
menyekolahkan keempat anaknya; tiga gadis satu bujang, setinggi mungkin semata
agar tidak mudah ditipu seperti dirinya. “Kalian tak boleh buta huruf. Kalian
tak boleh bodoh. Sekolah yang tinggi, biar tak ditipu.” (halaman 152).
Para orang tua saat ini
benar-benar memiliki harapan besar pada pendidikan formal. Semoga pendidikan
dikelas mampu menghantarkan siswa pada konsep Ki Hadjar Dewantara ngerti, ngrasa, lan nglakoni (Bagian
Pertama Pendidikan: 1977)
Walau sebenarnya kita juga
harus ingat pesan RA. Kartini (1903): “Hanya sekolah saja tidak dapat
memajukan masyarakat. Lingkungan keluarga (orang tua) harus membantu juga.
Malahan lebih-lebih dari lingkungan keluargalah, yang seharusnya datang
kekuatan mendidik”.
Perlawan terhadap perbedaan
gender sejak awal begitu menggaung di novel ini. Semakin diperjelas di bab-bab
terakhir lewat percakapan orangtua Emak dan Ebak. Bagi mereka perempuan tak
harus sekolah tinggi, sekolah tamat SMP itu sudah cukup.
Buat apa jauh-jauh bekerja di
rantau semata untuk menyekolahkan tiga gadis—selain satu bujang tentunya? Toh
pada akhirnya setelah menikah gadis-gadis hanya akan mengurus rumah, balik lagi
ke dapur! “Apa kata orang sedusun nantinya? Janda Arianton bin Mustofa meninggalkan
limas ke kota demi mengangkat anak gadisnya. Kau ada bujang. Tugas kau untuk
mengangkatnya sambil merawat limas. Kelak, bila ia sudah besar dan cukup umur,
anak bujang yang mengangkat kehormatanmu. Bukan anak gadis!” (halaman 276).
Konsep inilah yang dahulu di
tentang Kartini. “Dari
perempuanlah pertama-tama manusia itu menerima didikannya, di haribaannyalah
anak itu merasa, berfikir dan berkata-kata” tulis Kartini dalam suratnya
kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon.
Karena pendidikan yang dilakoni
perempuan akan melahirkan generasi-genarasi yang beradab. “Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan
anak perempuan, bukan sekali-sekali karena kami menginginkan anak-anak
perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena
kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita
lebih cakap melakukan kewajibanya, kewajiban yang di serahkan alam sendiri
kepada tangannya, menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama (Surat
Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).
Jika bicara mengenai
kukurangan buku ini ada dua. Pertama, ada begitu banyak catatan kaki
mengenai istilah, sajak-sajak, dan berbagai hal yang digunakan penulis dalam
ini. Mungkin akan lebih nyaman bagi pembaca jika istilah, sajak-sajak, dan
berbagai hal yang ada pada catatan kaki diberikan pada halaman tersendiri. Di
akhir bab atau di akhir buku.
Kedua, tokoh anak-anak yang digambarkan dalam novel
ini terlalu dewasa dan bijaksana. Bahkan, saya sulit percaya beberapa
percakapan dalam dialog itu diucapkan oleh anak-anak SD. Cara berpikir mereka
terlalu matang di usia itu. Seperti saat Gunawan menyadarkan Catuk agar tidak
berlarut-larut dengan masalahnya. “Lantas apa yang kau dapat? Ebak kau akan
hidup lagi? Emak kau urung dimadu? Kau tak punya saudara tiri? Begitu?”
tanyanya membabi buta.” (Bab 10, hal. 137). “Kami sayang kau. Kami tak hendak
lihat kau murung terus sepanjang masa. Tapi kami tak bisa berbuat apa-apa. Kami
terlalu ingusan untuk paham yang kau rasa.” (Bab 10 hal 138).
Selebihnya semoga pembaca Jurai
semakin cinta, hormat, sekaligus syukur pada sosok ibu. Seorang perempuan
mulia yang konon memiliki pintu surga di bawah telapak kakinya. Amin.
Santri Tadarus Buku di Bilik
Literasi Solo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar