Mengarang
atau mereka-reka cerita menarik perhatian pembaca. Mengusik untuk mengulik
lebih jauh proses kreatif. Sebelumnya penasaran darimana ide-ide itu muncul dan
dituangkan ke dalam dunianya, dunia kepengarangan. Tidak bisa dipungkiri kalau
pengarang melakukan pengembaraan fantasi berdasarkan apa yang sudah diindera
dan melanjutkannya dalam proses biokimia.
Ketika
mengarang, sang pengarang memiliki kemauan bercerita. Materi yang akan
diceritakan sudah siap di alam bawah sadarnya. Seperti diungkapkan maestro
sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer bahwa “Kemauan kita apa? Materinya
sudah tersedia di bawah sadar. Kemauan kita apa? Itu merupakan tetesan kimia
pada materi yang sudah ada. Ia berkembang sendiri dengan kimia ini, kimia baru.
Saya tinggal ngikuti aja gimana perkembangan
kimia dari materi dan kemauan kita. Apa aja
bisa itu: kritik, romantik, romans... Bisa aja sesuai dengan materi yang ada di bawah sadar dan kemauan kita
apa. Kemauan kita sebatas kimia itu. Jadi menulis merupakan proses biokimia.
Sederhana sekali. Nggak ada teori apa-apa. Silakan! (Hasudungan Sirait, Rin
Hindrayati, Rheinhardt, 2011: 3).
Aku
menekuri kumpulan cerpen Bulan Memerah karya Abednego Afriadi (Sheila, 2013)
ketika perjalanan pulang kampung ke Kebumen, Kamis 6 Januari 2014 menggunakan
kereta Prameks. Banyak tempat di beberapa cerpen itu yang sudah kuketahui.
Tidak asing dengan keseharianku juga. Aku meyakini sang pengarang sangat paham
lokasi yang pernah dikunjunginya. Semuanya realis. Bukan fantasi belaka.
Pembaca bisa menemukan lokasi-lokasi yang diceritakan Abednego.
Selain
lokasi, beberapa nama asli teman-teman pengarang pun disebutkan. Sekali lagi
realis tanpa harus mengubah nama mereka dengan nama samaran. Misalnya: “Tahukah
kau, Ayah? Semalaman aku memimpikanmu. Dari seorang pengarang cerita, aku ingin
belajar menceritakannya dengan caraku. Jika ayah bisa membaca, akan kau temukan
kata-kata yang aku ukir setengah mendayu. Maklumlah, Ayah, teman-temanku itu
mahasiswa sastra dan penulis yang sering memenangi sayembara. Ada Mas Yudhi,
Mbak Sanie, Mbak Indah, Om Effendi, dan Mbak Puitri... (Hal.3).
Kesadaran
pengarang yang ingin mengkritik diungkapkan dengan jelas terhadap kebijakan
pemerintah. Kepekaan sekaligus protes sosial kemanusiaan membuat pembaca
memiliki memori kolektif. Masih pada cerpen pertama yang kubaca berjudul
“Petiklah Gitar Itu, Ayah”. Ayah seorang buta, pengemis yang selalu
meminta-minta. Tapi sosok Aku dalam cerpen itu peka terhadap realitas. Mengusik
dirinya untuk melakukan protes dan menampar pemerintah. Baginya kebijakan tidak
becus sekaligus menurunkan martabat manusia harus dilawan.
“Masih
ingatkah Ayah? Ada seorang menteri yang kebetulan sedang makan bakso di warung
kuno, lalu menyeramahi kita, bahwa memberikan secara langsung uang kepada kita
sama halnya mendidik kita kita untuk menjadi pemalas. Katanya harus lewat
yayasan, dinas terkait, atau melalui kegiatan keagamaan?... (hal. 5).
Kegelisasan
pengarang dengan realitasnya justru menguat tajam dalam benaknya. Memori
terhadap apa yang diindera atas kemanusiaan yang kurang manusiawi pada prinsip
moralitasnya. Kehidupan Ayah pada tokoh di cerpen itu walaupun bersuara merdu,
karena sewaktu muda dan belum buta nyaris rekaman membuatnya nestapa. Kebutaan
menjadi disabilitas atas segala hal untuk menyerah. Sehingga jalan satu-satunya
adalah mengemis.
Ketika
aku membaca cerpen Mata yang Enak Dipandang (Ahmad Tohari), pelukisan sang
penuntun orang buta yang menjadi mengemis sebagai ladang harapan selalu melihat
mata yang iba sebagai mata yang penuh kasih. Pastilah mata-mata itu akan
mengeluarkan kocek kepada para peminta-minta.
Kekeringan
ritual sekaligus perlawanan religiusitas muncul ketika aku membaca cerpen
berikutnya yang berjudul Kidung Liturgi. Atas status baru membangun rumah
tangga dimana seseorang mengalami dunia baru, termasuk ritual religi. Walaupun
sudah sangat rutin, tetapi kadang ruhani mengering. Dorongan melakukannya
digoda oleh suasana alam yang merayapinya. Entah hujan, punya momongan atau
sibuk kerja.
Dalam
cerpen itu ritual religi ingin ditampik.
“Sejak
menikah, aku tak pernah mengikuti Misa Malam Natal. Sudah dua kali ini, setiap
akhir Desember, Natal memaksaku untuk tidak berkumpul bersama keluarga. natal
adalah upacaraku bersetubuh dengan hujan, peristiwa dan kamera. Namun malam ini
aku harus menyisakan waktuku, barang sebentar saja untuk menatap hujan. Jika
tahun lalu pohon terang berhiaskan kerlap-kerlip lampu seperti memaksaku untuk
tetap tinggal di rumah, tapi malam ini giliran delapan batang lilin enggan
meredupkan nyalanya untukkku. Satu jam lagi misa berlansung, aku lekas
berangkat, namun telepon berdering. Raras buru-buru mengangkatnya. (hal.
12-13).
Jeda
ritual religi membuat perubahan signifikan untuk berkomtemplasi. Seolah tidak
ingin melakukan sesuatu yang monton atas keadaan. Kesadaran beritual membuat
pembaca terperangah untuk berpikir atas rutinitas sekaligus religiusitas harian
hingga tahunan.
Cerpen
berjudul Tenongan pun sangat keseharian dan juga lokasinya pun tidak jauh dari
pengarang. Ini kecurigaanku. Tapi sangat relevan dengan apa yang dikemukakan
oleh Michael
Pearson, penulis yang mengungkap para sastrawan dunia dengan kepengarangan
sekaligus lokasi-lokasi sebagai basis penciptaan karyanya.
Dalam buku Tempat-Tempat Imajiner yang ditulis oleh
Michael Pearson (1994) tentang kisah-kisah imajinatif dari karya sastra
mendunia dan ditelusuri langsung oleh penulisnya, membuat kebermaknaan tentang
keberadaan diri sang pengarang. Ada yang
pernah bilang kepadaku, Faulkner selalu menulis tentang hal-hal yang
mengelilinginya, namun Hemingway selalu menulis tentang dirinya sendiri. Memang, tampaknya Ernest
Hemingway adalah tokoh ciptaan dirinya yang terbaik. Dalam sebagian
kariernya, Hemingway menghabiskan waktu untuk membuat legenda tentang dirinya
sebanyak waktu yang dia habiskan untuk menulis (hal. xxiii).
Kumcer
ini menghiburku sekaligus memberi warna atas memori kolektif yang sudah ada dalam
benakku. Aku mengangguk ketika harus menemukan kesamaan latar dan juga realitas
sosial. Benar-benar dekat dengan kehidupanku. Begitu.
*Ngadiyo, pengajar bahasa
Inggris dan penulis, aktif di Pawon dan Bilik Literasi, Solo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar