Kamis, 27 Februari 2014

(Buku Bicara) Bulan Memerah: Pengarang dan Dunianya, oleh Ngadiyo



Mengarang atau mereka-reka cerita menarik perhatian pembaca. Mengusik untuk mengulik lebih jauh proses kreatif. Sebelumnya penasaran darimana ide-ide itu muncul dan dituangkan ke dalam dunianya, dunia kepengarangan. Tidak bisa dipungkiri kalau pengarang melakukan pengembaraan fantasi berdasarkan apa yang sudah diindera dan melanjutkannya dalam proses biokimia.
Ketika mengarang, sang pengarang memiliki kemauan bercerita. Materi yang akan diceritakan sudah siap di alam bawah sadarnya. Seperti diungkapkan maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer bahwa “Kemauan kita apa? Materinya sudah tersedia di bawah sadar. Kemauan kita apa? Itu merupakan tetesan kimia pada materi yang sudah ada. Ia berkembang sendiri dengan kimia ini, kimia baru. Saya tinggal ngikuti aja gimana perkembangan kimia dari materi dan kemauan kita. Apa aja bisa itu: kritik, romantik, romans... Bisa aja sesuai dengan materi yang ada di bawah sadar dan kemauan kita apa. Kemauan kita sebatas kimia itu. Jadi menulis merupakan proses biokimia. Sederhana sekali. Nggak ada teori apa-apa. Silakan! (Hasudungan Sirait, Rin Hindrayati, Rheinhardt, 2011: 3).
Aku menekuri kumpulan cerpen Bulan Memerah karya Abednego Afriadi (Sheila, 2013) ketika perjalanan pulang kampung ke Kebumen, Kamis 6 Januari 2014 menggunakan kereta Prameks. Banyak tempat di beberapa cerpen itu yang sudah kuketahui. Tidak asing dengan keseharianku juga. Aku meyakini sang pengarang sangat paham lokasi yang pernah dikunjunginya. Semuanya realis. Bukan fantasi belaka. Pembaca bisa menemukan lokasi-lokasi yang diceritakan Abednego.
Selain lokasi, beberapa nama asli teman-teman pengarang pun disebutkan. Sekali lagi realis tanpa harus mengubah nama mereka dengan nama samaran. Misalnya: “Tahukah kau, Ayah? Semalaman aku memimpikanmu. Dari seorang pengarang cerita, aku ingin belajar menceritakannya dengan caraku. Jika ayah bisa membaca, akan kau temukan kata-kata yang aku ukir setengah mendayu. Maklumlah, Ayah, teman-temanku itu mahasiswa sastra dan penulis yang sering memenangi sayembara. Ada Mas Yudhi, Mbak Sanie, Mbak Indah, Om Effendi, dan Mbak Puitri... (Hal.3).
Kesadaran pengarang yang ingin mengkritik diungkapkan dengan jelas terhadap kebijakan pemerintah. Kepekaan sekaligus protes sosial kemanusiaan membuat pembaca memiliki memori kolektif. Masih pada cerpen pertama yang kubaca berjudul “Petiklah Gitar Itu, Ayah”. Ayah seorang buta, pengemis yang selalu meminta-minta. Tapi sosok Aku dalam cerpen itu peka terhadap realitas. Mengusik dirinya untuk melakukan protes dan menampar pemerintah. Baginya kebijakan tidak becus sekaligus menurunkan martabat manusia harus dilawan.
“Masih ingatkah Ayah? Ada seorang menteri yang kebetulan sedang makan bakso di warung kuno, lalu menyeramahi kita, bahwa memberikan secara langsung uang kepada kita sama halnya mendidik kita kita untuk menjadi pemalas. Katanya harus lewat yayasan, dinas terkait, atau melalui kegiatan keagamaan?... (hal. 5).
Kegelisasan pengarang dengan realitasnya justru menguat tajam dalam benaknya. Memori terhadap apa yang diindera atas kemanusiaan yang kurang manusiawi pada prinsip moralitasnya. Kehidupan Ayah pada tokoh di cerpen itu walaupun bersuara merdu, karena sewaktu muda dan belum buta nyaris rekaman membuatnya nestapa. Kebutaan menjadi disabilitas atas segala hal untuk menyerah. Sehingga jalan satu-satunya adalah mengemis.
Ketika aku membaca cerpen Mata yang Enak Dipandang (Ahmad Tohari), pelukisan sang penuntun orang buta yang menjadi mengemis sebagai ladang harapan selalu melihat mata yang iba sebagai mata yang penuh kasih. Pastilah mata-mata itu akan mengeluarkan kocek kepada para peminta-minta.
Kekeringan ritual sekaligus perlawanan religiusitas muncul ketika aku membaca cerpen berikutnya yang berjudul Kidung Liturgi. Atas status baru membangun rumah tangga dimana seseorang mengalami dunia baru, termasuk ritual religi. Walaupun sudah sangat rutin, tetapi kadang ruhani mengering. Dorongan melakukannya digoda oleh suasana alam yang merayapinya. Entah hujan, punya momongan atau sibuk kerja.
Dalam cerpen itu ritual religi ingin ditampik.
“Sejak menikah, aku tak pernah mengikuti Misa Malam Natal. Sudah dua kali ini, setiap akhir Desember, Natal memaksaku untuk tidak berkumpul bersama keluarga. natal adalah upacaraku bersetubuh dengan hujan, peristiwa dan kamera. Namun malam ini aku harus menyisakan waktuku, barang sebentar saja untuk menatap hujan. Jika tahun lalu pohon terang berhiaskan kerlap-kerlip lampu seperti memaksaku untuk tetap tinggal di rumah, tapi malam ini giliran delapan batang lilin enggan meredupkan nyalanya untukkku. Satu jam lagi misa berlansung, aku lekas berangkat, namun telepon berdering. Raras buru-buru mengangkatnya. (hal. 12-13).
Jeda ritual religi membuat perubahan signifikan untuk berkomtemplasi. Seolah tidak ingin melakukan sesuatu yang monton atas keadaan. Kesadaran beritual membuat pembaca terperangah untuk berpikir atas rutinitas sekaligus religiusitas harian hingga tahunan.
Cerpen berjudul Tenongan pun sangat keseharian dan juga lokasinya pun tidak jauh dari pengarang. Ini kecurigaanku. Tapi sangat relevan dengan apa yang dikemukakan oleh Michael Pearson, penulis yang mengungkap para sastrawan dunia dengan kepengarangan sekaligus lokasi-lokasi sebagai basis penciptaan karyanya. 
Dalam buku Tempat-Tempat Imajiner yang ditulis oleh Michael Pearson (1994) tentang kisah-kisah imajinatif dari karya sastra mendunia dan ditelusuri langsung oleh penulisnya, membuat kebermaknaan tentang keberadaan diri sang pengarang.  Ada yang pernah bilang kepadaku, Faulkner selalu menulis tentang hal-hal yang mengelilinginya, namun Hemingway selalu menulis tentang dirinya sendiri. Memang, tampaknya Ernest Hemingway adalah tokoh ciptaan dirinya yang terbaik. Dalam sebagian kariernya, Hemingway menghabiskan waktu untuk membuat legenda tentang dirinya sebanyak waktu yang dia habiskan untuk menulis (hal. xxiii).
Kumcer ini menghiburku sekaligus memberi warna atas memori kolektif yang sudah ada dalam benakku. Aku mengangguk ketika harus menemukan kesamaan latar dan juga realitas sosial. Benar-benar dekat dengan kehidupanku. Begitu.


*Ngadiyo, pengajar bahasa Inggris dan penulis, aktif di Pawon dan Bilik Literasi, Solo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar