Bocah lelaki ini bahagia mendapatkan
sepatu. Sekilas benakku menyimpan nostalgia masa kecil. Bocah desa yang
ditinggal mati Ebaknya. Merasakan pelbagai kejadian getir sepeninggalan Ebakny aitu.
Mulai dari cerita pembunuhan atas kematian Ebaknya, bini lain Ebaknya yang tiba-tiba
muncul usai mangkatnya sang Ebak, sampai pergulatan batin Emak si bocah. Ada
ketegangan yang terjadi. Aku jadi merasa sedih. Teringat masa laluku yang tak mungkinku
ceritakan di sini.
Sepatu. Benda ini sepele tapi bernilai. Saksikanlah rasa kebahagiaan yang
dirasakan si bocah: “Petang ini, semangatku berlipat-lipat. Setelah dirundung
kesedihan sekian lama. Baru petang ini aku merasakan kebahagiaan yang tak bisa
dilukiskan dengan kata-kata. Rasa bahagia yang meluap, menghadirkan spirit baru
untuk memenangkan lomba”. Kita selalu kesulitan mencari kebahagiaan. Kedekatan
jalan kebahagiaan rupanya ada lewat dolanan ala anak kecil, pergi ke sungai,
mencari ikan, siput bersama kawan-kawan sepermainan.
Saya selalu merasa dekat dengan permainan itu. Novel ini rupanya mengajak
saya menelusuri lorong waktu masa kecil. Kemiripan itu tampak, “di danau, kami hanya duduk dua jam. Mungkin
lebih dua puluh sampai tiga puluh menit. Sebenarnya, kami ingin berlama-lama. Terlebih ketika
tajur hanya menangkap beberapa ikan gabus dan betok.” Semasa kecil, peristiwa serupa ini juga saya alami.
“Ikan”, “air laut”, “perahu”,
tiga kata itumewakilikesamaancerita yang teralami ketika dulu alang-alang di pinggir pantai menjumpai para
nelayan yang usai berlayar mencari ikan di lautan. Juga mencari ikan di laut,
dengan perahu kecil, menunggu dengan sabar. Terkadang menunggu nelayan dating lalu
kami secara menyebar juga meminta ikan kepada para nelayan kemudian kami jual kepada
tengkulak yang biasanya berjejer di pinggiran bibir pantai. Mereka menanti nelayan
dating lalu membelinya untuk dijual kembali. Saya sering mendapat uang saku dari
alang-alang seperti itu ketika kecil,
masa SD bersama kawan-kawan sepermainan.
Novel ini berusaha menciptakan selera
bersendau gurau, saling menyemangati, dan juga canda tawa ketika salah seorang teman
sedang dirundung duka. Catuk, si tokoh utama di kisah ini beruntung mendapati itu semua. “anak
bujang dilarang menangis”, petikan ini diambil dari petuah Ebaknya. Ketika
Catuk dirundung duka mendalam usai meninggal Ebaknya dan pelbagai kejadian
bertubi-tubi yang menyayat hati dan keluarganya, ia selalu mengingat itu. Novel yang mengedepankanakusebagai orang pertamadalamsubyek yang dipakai. Saya kira novel
ini edukatif buat pembaca anak-anak dan juga remaja untuk dikedepankan.
Selayaknya kisah bocah, cerita dibuat
secara sederhana. Dengan gaya bahasa yang mudah dicerna. Juga memuat nilai-nilai
edukatif, inspiratif akan daya juang, kasih sayang, persahabatan, dan
spiritualitas. Kecenderungan yang demikian membantu
anak memahami kehidupan dan hidup mereka sendiri kedepannya. Saya kira, novel
ini cukup memberikan perhatian atas hal yang telah saya sebutkan itu. Latar cerita
dari tanahMinang, dengan situasi adatnya terus dipertanyakan. Sayakira,
pengarang perlu kita pertanyakan mengapa ia turut memasukan dialektika tentang adat
kenduri dalam kematian, anak bujang yang mesti dipunyai makhluk perempuan di sana.
Di tengah gerusan arus informasi serta
dunia hiburan televisi yang makin mengalpakan edukasi buat masyarakat, novel
ini mencoba hadir disela-sela itu semua. Saya mengapresiasi kerja pengarang
yang turut menambah khasanah sastra buat remaja atau anak. Hanya saja, perlu digarisbawahi
bahwa ada tendensi era 2000-an memang novel-novel Indonesia ini didominasi cerita
inspiratif yang mengangkat perjalanan seorang anak yang meraih cita-citanya. Dan beberapa novel
seperti itu memang sangat diminati pembaca sebagai bagian dari motivasi hidup
mengapai mereka.
Sayangnya diantara cerita-cerita yang disuguhkan selalu ada kemiripan yang
senantiasa memiliki pertautan dari novel satu dengan novel lain bergenre sama.
Andrea Hirata misalnya, juga menawarkan cerita anak kampung dari Belitong yang
miskin, ada perjuangan menggapai cita-cita ditengah kemiskinannya. Ada juga percintaan
ala bocah yang selalu diwarnai dengan cinta monyet ala anak kecil. Tetapi,
itulah rupanya anak manusia.
Selalu ketika kita menjadi “merasa” dewasa selalu ada kebosanan membaca
cerita demikian. Barangkali bagi remaja atau anak kecil akan senang membaca
cerita yang begitu karena disitulah mereka hidup. Dan pada saat itulah masa-masa
mereka sedang dijalani. Saya tak perlu menjadi iri atau benci karena memang
saya telah dewasa yang ingin menikmati ulang bingkai masa kecil saya sendiri
dan perlu sangat menikmati masa kini yang saya alami.
Latar Minang yang dipakai, denganadat yang selalu popular dalam
khasanah sastra Indonesia takasingbagipembaca Indonesia. Adat yang kental diliputi
suasana pergulatan batin si pengarang atau si tokoh telah kita simak dengan bacaan
novel lama yang pernah ada di Indonesia. Marah Rusli bisa jadi salah seorang tokoh
yang selalu menautkan gejolak adat dalam novel-novelnya. Saya kira kita perlu bertanya
kepada pengarang perihal demikian, apakah yang melatarbelakangi itu semua dicipta
dalam novelnya ini. Negeri Minang memang negeri sastrawan, dan tak bisa dipungkiri
bahwa Indonesia masih banyak sastrawan atau calon sastrawan yang juga mesti tersebar.
Agar segala khasanah riwayat kemanusiaan manusia bisa terekam lewat sastra sebagai
mediumnya. Agar latar budaya, adat, agama, bahasadapat kitapahami lebih mendalam
dalam jiwa sastra. Perbedaan itu ada, dan tak bisa dipungkiri di tanah bernama
Indonesia ini.
Bekerja di Perbukuan.
PengelolaMajalahPapirus.
Alang-alang: adalah sejenis nama aktivitas anak-anak
di dusun nelayan (Rembang, Jawa Tengah) ketika mendatangi para nelayan yang
sedang berlabuh usai melaut seharian. Anak-anak
yagg mendatangi mereka biasanya turut membantu meminggirkan perahu, lalu mereka
diberiikan oleh si nelayan sebagai upah tenaganya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar