Senin, 24 Februari 2014

(Buku Bicara) Jurai: Bocah Lelaki, di Limas Impian, oleh Saeful Achyar



Bocah lelaki ini bahagia mendapatkan sepatu. Sekilas benakku menyimpan nostalgia masa kecil. Bocah desa yang ditinggal mati Ebaknya. Merasakan pelbagai kejadian getir sepeninggalan Ebakny aitu. Mulai dari cerita pembunuhan atas kematian Ebaknya, bini lain Ebaknya yang tiba-tiba muncul usai mangkatnya sang Ebak, sampai pergulatan batin Emak si bocah. Ada ketegangan yang terjadi. Aku jadi merasa sedih. Teringat masa laluku yang tak mungkinku ceritakan di sini.
Sepatu. Benda ini sepele tapi bernilai. Saksikanlah rasa kebahagiaan yang dirasakan si bocah: “Petang ini, semangatku berlipat-lipat. Setelah dirundung kesedihan sekian lama. Baru petang ini aku merasakan kebahagiaan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Rasa bahagia yang meluap, menghadirkan spirit baru untuk memenangkan lomba”. Kita selalu kesulitan mencari kebahagiaan. Kedekatan jalan kebahagiaan rupanya ada lewat dolanan ala anak kecil, pergi ke sungai, mencari ikan, siput bersama kawan-kawan sepermainan.
Saya selalu merasa dekat dengan permainan itu. Novel ini rupanya mengajak saya menelusuri lorong waktu masa kecil. Kemiripan itu tampak, “di danau, kami hanya duduk dua jam. Mungkin lebih dua puluh sampai tiga puluh menit. Sebenarnya, kami ingin berlama-lama. Terlebih ketika tajur hanya menangkap beberapa ikan gabus dan betok.” Semasa kecil, peristiwa serupa ini juga saya alami.
“Ikan”, “air laut”, “perahu”, tiga kata itumewakilikesamaancerita yang teralami ketika dulu alang-alang di pinggir pantai menjumpai para nelayan yang usai berlayar mencari ikan di lautan. Juga mencari ikan di laut, dengan perahu kecil, menunggu dengan sabar. Terkadang menunggu nelayan dating lalu kami secara menyebar juga meminta ikan kepada para nelayan kemudian kami jual kepada tengkulak yang biasanya berjejer di pinggiran bibir pantai. Mereka menanti nelayan dating lalu membelinya untuk dijual kembali. Saya sering mendapat uang saku dari alang-alang seperti itu ketika kecil, masa SD bersama kawan-kawan sepermainan.
Novel ini berusaha menciptakan selera bersendau gurau, saling menyemangati, dan juga canda tawa ketika salah seorang teman sedang dirundung duka. Catuk, si tokoh utama di kisah ini beruntung mendapati itu semua. “anak bujang dilarang menangis”, petikan ini diambil dari petuah Ebaknya. Ketika Catuk dirundung duka mendalam usai meninggal Ebaknya dan pelbagai kejadian bertubi-tubi yang menyayat hati dan keluarganya, ia selalu mengingat itu. Novel yang mengedepankanakusebagai orang pertamadalamsubyek yang dipakai. Saya kira novel ini edukatif buat pembaca anak-anak dan juga remaja untuk dikedepankan.
Selayaknya kisah bocah, cerita dibuat secara sederhana. Dengan gaya bahasa yang mudah                                dicerna. Juga memuat nilai-nilai edukatif, inspiratif akan daya juang, kasih sayang, persahabatan, dan spiritualitas. Kecenderungan yang demikian membantu anak memahami kehidupan dan hidup mereka sendiri kedepannya. Saya kira, novel ini cukup memberikan perhatian atas hal yang telah saya sebutkan itu. Latar cerita dari tanahMinang, dengan situasi adatnya terus dipertanyakan. Sayakira, pengarang perlu kita pertanyakan mengapa ia turut memasukan dialektika tentang adat kenduri dalam kematian, anak bujang yang mesti dipunyai makhluk perempuan di sana.
Di tengah gerusan arus informasi serta dunia hiburan televisi yang makin mengalpakan edukasi buat masyarakat, novel ini mencoba hadir disela-sela itu semua. Saya mengapresiasi kerja pengarang yang turut menambah khasanah sastra buat remaja atau anak. Hanya saja, perlu digarisbawahi bahwa ada tendensi era 2000-an memang novel-novel Indonesia ini didominasi cerita inspiratif yang mengangkat perjalanan seorang anak yang meraih cita-citanya. Dan beberapa novel seperti itu memang sangat diminati pembaca sebagai bagian dari motivasi hidup mengapai mereka.
Sayangnya diantara cerita-cerita yang disuguhkan selalu ada kemiripan yang senantiasa memiliki pertautan dari novel satu dengan novel lain bergenre sama. Andrea Hirata misalnya, juga menawarkan cerita anak kampung dari Belitong yang miskin, ada perjuangan menggapai cita-cita ditengah kemiskinannya. Ada juga percintaan ala bocah yang selalu diwarnai dengan cinta monyet ala anak kecil. Tetapi, itulah rupanya anak manusia.
Selalu ketika kita menjadi “merasa” dewasa selalu ada kebosanan membaca cerita demikian. Barangkali bagi remaja atau anak kecil akan senang membaca cerita yang begitu karena disitulah mereka hidup. Dan pada saat itulah masa-masa mereka sedang dijalani. Saya tak perlu menjadi iri atau benci karena memang saya telah dewasa yang ingin menikmati ulang bingkai masa kecil saya sendiri dan perlu sangat menikmati masa kini yang saya alami.
Latar Minang  yang dipakai, denganadat yang selalu popular dalam khasanah sastra Indonesia takasingbagipembaca Indonesia. Adat yang kental diliputi suasana pergulatan batin si pengarang atau si tokoh telah kita simak dengan bacaan novel lama yang pernah ada di Indonesia. Marah Rusli bisa jadi salah seorang tokoh yang selalu menautkan gejolak adat dalam novel-novelnya. Saya kira kita perlu bertanya kepada pengarang perihal demikian, apakah yang melatarbelakangi itu semua dicipta dalam novelnya ini. Negeri Minang memang negeri sastrawan, dan tak bisa dipungkiri bahwa Indonesia masih banyak sastrawan atau calon sastrawan yang juga mesti tersebar. Agar segala khasanah riwayat kemanusiaan manusia bisa terekam lewat sastra sebagai mediumnya. Agar latar budaya, adat, agama, bahasadapat kitapahami lebih mendalam dalam jiwa sastra. Perbedaan itu ada, dan tak bisa dipungkiri di tanah bernama Indonesia ini.


Bekerja di Perbukuan. PengelolaMajalahPapirus.




Alang-alang: adalah sejenis nama aktivitas anak-anak di dusun nelayan (Rembang, Jawa Tengah) ketika mendatangi para nelayan yang sedang  berlabuh usai melaut seharian. Anak-anak yagg mendatangi mereka biasanya turut membantu meminggirkan perahu, lalu mereka diberiikan oleh si nelayan sebagai upah tenaganya itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar