Minggu, 09 Maret 2014

Kota, Kata, Kita, oleh Bandung Mawardi di Sindo 9 Maret 2014



Solo telah berusia 269 tahun. Kota ini mulai menjadi acuan tema politik, sejak kemunculan tokoh bertubuh kurus: Joko Widodo. Solo dibentuk oleh Joko Widodo sebagai “kota panggung”, “kota karnaval”, “kota tontonan”. Pelbagai seni pertunjukan, karnaval, festival seni, tontonan kolosal di jalan sering diadakan demi mengisahkan Solo di mata publik. Agenda itu masih berlanjut sampai sekarang meski Joko Widodo sudah menjadi penguasa di Jakarta.
Selebrasi ulang tahun Solo menjadi dalil bagi pemerintah menggelar acara-acara demi pengesahan Solo sebagai kota moncer dalam urusan kultural, seni, investasi, pariwisata, industri-kreatif. Kegandrungan membuat pelbagai acara melibatkan ribuan orang di panggung, jalan, benteng, lapangan mengakibatkan pemerintah dan publik melupakan Solo sebagai pusat sastra di Nusantara, sejak ratusan tahun silam.
Di kelender kultural buatan pemerintah, acara sastra tak pernah tercantum. Pemerintah menganggap sastra tak memberi kontribusi bagi peradaban dan kemonceran kota. Sastra sebagai selebrasi kata dan makna hampir disepelekan. Semaian imajinasi melalui teks-teks sastra tradisional dan modern sulit diakui memberi jiwa kota, mempengaruhi arus pembentukan identitas manusia kota. Kebijakan pemerintah mengelola kota memang jarang “mengesahkan” sastra sebagai basis sejarah dan masa depan kota.
 Kita masih mendapat ingatan kecil dari agenda sederhana oleh kumpulan pengarang muda di Solo, menghimpun diri di Pawon Sastra. Mereka mengadakan Festival Sastra Solo, 22-23 Februari 2014. Ada dua acara berkaitan Solo meski tak berkaitan dengan selebrasi ulang tahun Solo. Pawon mengadakan diskusi bertema “Student Hidjo dan Marco Kartodikromo”, 22 Februari 2014. Siapa Marco Kartodikromo? Apakah makna novel Student Hidjo bagi Solo dan Indonesia?
Diskusi menghadirkan dua pembicara: Andreas Susanto (sejarawan) dan Muhidin M. Dahlan (esais). Mereka memberi ulasan sugestif dan impresif mengenai Solo, mengacu ke Marco Kartodikromo sebagai pengarang dan wartawan. Imajinasi Solo pun terungkap dengan ulasan novel berjudul Student Hidjo (1919) garapan Marco Kartodikromo. Publik perlahan insaf bahwa Solo awal abad XX termaktub dalam novel lawas.
Marco Kartodikromo adalah pengelola surat kabar Doenia Bergerak (2014), terbit di Solo. Surat kabar menjadi representasi geliat pers dan pergerakan politik. Kontribusi Marco Kartodikromo melalui Doenia Bergerak bisa dilacak dari peristiwa-peristiwa politik dan kultural di Solo. Seruan-seruan melawan feodalisme dan kolonialisme sering tersaji di Doenia Bergerak. Publik pun mendapat bacaan kritis saat mengalami “zaman bergerak”. Ingatan kita tentang Sarekat Islam, sengketa perdagangan-ekonomi, ambisi pendidikan modern, perlawanan atas dominasi raja-keraton bisa ditemukan dalam Doenia Bergerak. Seratus tahun silam, pers turut menentukan perubahan sosial, politik, kultural di Solo. Doenia Bergerak membuat Solo bergerak, meninggalkan masa suram menuju impian “kemadjoean”.
Student Hidjo berkisah tentang pendidikan modern, perubahan kota, pesona alat transportasi modern, sejarah pergerakan politik. Pembaca bisa mengimajinasikan Solo saat berubah di masa kolonialisme. Marco Kartodikromo mengisahkan impian menjadi manusia modern, situasi Sriwedari, kemonceran Sarekat Islam, birokrasi kolonial. Novel adalah rujukan imajinasi dan kesejarahan. Student Hidjo pun berarti dokumentasi dari kesejarahan Solo.
Selebrasi mengenang dan mengimajinasikan Solo bersambung dalam acara peluncuran buku berjudul Solo dalam Puisi (2014). Buku Solo dalam Puisi adalah persembahan para pujangga untuk mendokumentasikan Solo, dari masa ke masa. Ada 85 pujangga dan 101 puisi, berkisah tentang segala hal di Solo. Mengenang Solo bisa dilakukan dengan membaca puisi-puisi lawas gubahan Sutan Takdir Alisjahbana, Rendra, Hartojo Andangdjaja, Wiji Thukul. Mereka menulis Solo dengan kata-kata bergelimang imajinasi dan kesejarahan. Sutan Takdir Alisjahbana mengenang pohon beringin. Rendra dan Wiji Thukul mengenang Sriwedari. Hartojo Andandjaja menulis tentang rasa cinta dan rindu bagi Solo. Puisi para pujangga lawas diimbuhi dengan puluhan puisi dari para pujangga mutakhir, berasal dari Solo dan pelbagai kota di Indonesia.
Hartojo Andangdjaja dalam puisi berjudul Salam Terakhir (1973) mengisahkan:   Kau bagiku, kota yang melambai dalam rinduku/ lebih dari seorang kekasih, seorang ibu/rinduku kepadamu/ ialah rindu yang dihidupkan kenangan masa kanakku. Bait impresif, mengartikan Solo dengan luapan cinta dan rindu tak tertahan. Solo menjadi kota bergelimang imajinasi, bertaburan kata.
Festival Sastra Solo 2014 adalah hajatan kecil, mengingatkan kita tentang Solo sebagai kota sastra, sejak ratusan tahun silam. Sejarah Solo, sejarah sastra. Ingatan kita bakal mengarah ke Jasadipura II, Paku Buwana IV, Mangkunegara IV, Ranggawarsita, Padmasusastra. Ingatan untuk sastra mutakhir juga menjelaskan peran para pengisah Solo melalaui puisi, novel, cerpen, drama. Kita mengenang pengarang-pengarang era modern: Jasawidagdo, Muhamad Dimjati, Arti Purbarini, Kho Ping Hoo. Mereka turut menulis tentang Solo.
Kota mesti memuat kata dan kita. Pengharapan ini sindiran bagi gejala menjadikan kota adalah “kota panggung”, “kota karnaval”, “kota tontonan”. Kota bersastra adalah kota bergelimang imajinasi, memberi rangsangan bagi publik mengisahkan dan memaknai kota dengan kata-kata, dari masa ke masa. Begitu.     

 Dimuat di Koran Sindo, 9 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar