Kamis, 06 Maret 2014

BINGKAI SOLO DALAM PUISI, oleh: Ratna Ayu Budhiarti (dimuat di Selisik, Pikiran Rakyat, Senin 3 Maret 2014, halaman 22)

Seorang perempuan mengenakan kain batik dan berkerudung hijau melenggak-lenggok, sesekali menembang lagu Jawa dan membaca puisi berjudul Mengkaji Bengawan dari buku Solo dalam Puisi di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo, Sabtu (22/02) malam. Ia bernama Nurni Chaniago, penari, penulis, sekaligus pengajar Seni Budaya di salah satu SMP di Klaten. Selain Nurni, sebelas penyair lainnya juga membacakan puisi yang terhimpun dalam buku yang sama.
Acara peluncuran buku Solo dalam Puisi ditandai oleh sambutan dari salah seorang kurator, Fanny Chotimah. “Puisi yang terpilih merupakan puisi yang bertema Solo, sesuai tema buku antologi tersebut. Sedangkan pertimbangan lain selain alasan estetik puisi ialah terpotretnya penanda-penanda kota semisal Bengawan Solo, Jalan Slamet Riyadi, Museum Radya Pustaka, Stasiun Solo Balapan, Kampung Batik, Hik/Wedangan, Pasar Klewer, Lokananta, Gladak, Alun-alun Kota dan ruang-ruang lain ataupun kuliner yang menjadi ciri khas kota Solo”, paparnya. Begitu juga puisi yang bergerak lebih jauh membongkar sejarah kota yang pernah terbakar dan berdarah. Dengan adanya puisi-puisi tersebut diharapkan kita dapat melacak apa yang telah hilang dan yang masih ada dari kota Solo.
“Kami tak menyangka, ternyata antusiasme kawan-kawan begitu baik. Total puisi yang terkumpul ada 300, dari 105 penyair. Namun karena dana yang terbatas, maka puisi tersebut tidak kami muat semua, dipilih beberapa, sisanya akan dialihkan untuk dimuat di buletin Pawon edisi-edisi berikutnya”, Yudhi Herwibowo menjelaskan hal ini saat pembukaan festival. Setelah melalui tahap kurasi, akhirnya terpilih 85 penyair dan 101 puisi, bersanding dengan puisi-puisi penyair sebelumnya yang pernah menulis tentang Solo seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Rendra, Armaja, Hartojo Andangdjaja, Wiji Tukhul, Afrizal Malna, dan lain-lain.
Buku antologi Solo dalam Puisi merupakan buku kedua yang lahir setelah antologi kumpulan cerpen berjudul Lamaran Sri (2010), yang telah lebih dulu mengekalkan kisah persentuhan para penulis dengan kota Solo. Buku puisi yang diterbitkan oleh Buletin Sastra Pawon tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara Festival Sastra Solo pada tanggal 22-23 Februari 2014, sekaligus sebagai perayaan Komunitas Sastra Pawon yang menginjak usia 7 tahun.
Penyair pertama yang menampilkan puisinya di TBJT malam itu Yudi Teha dengan musikalisasi puisi menggunakan gitar. Yudi mampu membawa penonton mengembara dalam imajinasi visual melalui puisi Dari Manahan Sampai Pasar Gede. Saat satu bait selesai, lampu diredupkan dan sekira165 penonton larut menikmati kisah tentang perjalanan dan kenangan dari puisinya. Pada bait ketiga, penonton riuh bertepuk tangan saat kata pramex diucapkan. Pramex adalah akronim dari Prambanan Express, kereta api rute Yogya-Solo, yang sangat akrab dalam keseharian masyarakat. Tampak Yudi hampir hapal seluruh lirik puisinya, sebab dia sangat jarang melihat ke buku dari posisinya yang berdiri di samping podium. Ia hanya memainkan gitar sambil sesekali memejamkan mata, seolah menunjukkan kesan mendalam akan resapan kenangan yang diingatnya. Ia menutup penampilannya dengan musikalisasi puisi Januari karya Seruni.
Sedangkan Seruni yang tampil setelahnya membacakan puisi karya Sofyan RH. Zaid berjudul Mengenang Green Cap, 1949. Larik-larik puisinya sebagai berikut: seperti pesta, perang sudah berakhir # airmata dan darah/ berhenti mengalir/ senjata dilempar # berubah mawar/ tinggal bercak dan jejak # kemudian menjadi sajak// di jalan pulang menuju rumah # lelaki itu ditembak tepat di dada/ jatuh tersungkur ke tanah # tercium aroma bunga/ anak dan istrinya menunggu # sampai akhirnya menjadi batu// sementara di gading pengungsian # orang-orang dibantai seperti hewan/ airmata dan darah kembali mengalir # perang tidak sebenarnya berakhir/ langit gelap # bumi kalap// dan kita tahu dihianati # lebih perih dari mati//2014.
Puisi yang dibacakan Seruni mengisahkan peristiwa setelah Serangan Umum Solo. Pada tanggal 11 Agustus 1949 terjadi banyak pelanggaran perjanjian gencatan senjata oleh pasukan khusus Baret Hijau (Green Cap) atau KST yang menewaskan banyak penduduk sipil. Situasi tersebut mendorong terjadinya pertempuran apalagi pasukan TNI terutama pihak DEN II TP Brigade XVII tidak mau menerima perjanjian ini karena hampir seluruh Kota Solo telah berhasil diduduki dalam serangan umum tersebut dan pihak Belanda telah jelas-jelas melanggar. Inilah salah satu contoh bahwa puisi bisa menjadi penanda peristiwa. Selain menuliskan imajinasi visual, puisi juga menjadi narasi tentang sejarah sebuah kota.
Selain Yudi Teha, Seruni, dan Nurni Chaniago, penyair lain yang tampil adalah Eko HM, Moch. Ghufron Cholid, Sigit Rais, Aloeth Pati, Catur Harimurti, Khairul Umam, Suyitno Ethex, Ardi Susanti, Stebby Julionatan, dan Shenobi Mikael.
Sigit Rais yang berkolaborasi dengan rekannya, Arif, dalam puisinya menceritakan tentang kuliner Solo. Penampilan keduanya cukup menarik ketika pada salah satu bait, Sigit mengajak penonton bertepuk tangan dan mendendangkan berulang-ulang: tengkleng… sate buntel…/ teh poci… wedang ronde. Sementara Stebby Julionatan dan Shenobi Mikael bersama Komunitas Sae Sanget Indonesia dari Probolinggo bercerita tentang berbagai tempat di Solo melalui musikalisasi puisi diiringi gitar dan seruling yang apik dan merdu.
Acara ditutup dengan penampilan Teater Sirat. Para mahasiswa di IAIN Surakarta itu memadukan pembacaan puisi dan seni pantomim. Penampilan mereka sangat menghibur dan membuat penonton tertawa dengan aksi kocaknya. Sejumlah pemain lain yang tersebar di kursi penonton berteriak membacakan puisi saat 3 pemain pantomim sedang beraksi. Namun para pembaca puisi yang berbaur dengan penonton itu seolah dikendalikan oleh sebuah remote control yang dipegang pemain pantomim. Remote kemudian rusak, puisi-puisi mengumandang bersamaan dan lampu pun dinyalakan sebagai penanda acara selesai.
***


http://ratnaayubudhiarti.wordpress.com/2014/03/03/bingkai-solo-dalam-puisi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar