Kamis, 06 Maret 2014

FESTIVAL DENGAN MODAL AWAL RP 126.000, oleh: Ratna Ayu Budhiarti (dimuat di Selisik, Pikiran Rakyat, Senin 3 Maret 2014, halaman 22)

foto diambil dari wall @ratna ayu budiarti

Ada decak tak percaya dari para peserta yang hadir pagi itu di Balai Soedjatmoko, Jalan Slamet Riyadi no. 284 Solo, ketika Yudhi Herwibowo mengatakan bahwa Komunitas Sastra Pawon hanya memiliki modal awal Rp 126 ribu saja, itupun saldo uang kas dari kegiatan terakhir dan urunan para pegiat di Pawon. Sebagai ketua panitia Festival Sastra Solo 2014 , Yudhi mengungkapkan kebahagiaannya, sebab dengan dana yang terbatas, akhirnya acara dapat diselenggarakan.
Berangkat dari kegelisahan Yudhi dan kawannya ketika menghadiri Borobudur Writers and Cultural Festival September 2013 lalu di Yogyakarta. Ia merasa sastra dan budaya begitu berjarak, tak dapat dinikmati semua orang, karena hanya para undangan saja yang bisa menghadiri acara. Padahal dari segi penyusunan acara dan tema yang diangkat bisa dibilang cukup menarik. Karena itu, dia bersama beberapa teman lainnya di Pawon mematangkan ide dan konsep kegiatan festival. Hingga akhirnya diambil keputusan festival itu digelar sekaligus merayakan ulang tahun Komunitas Sasta Pawon ke 7 tahun.
“Mengingat dana yang terbatas itu, sebetulnya kami agak deg-degan. Maka disusunlah rencana A dan rencana B, di mana rencana A berisi pembicara idaman, para penulis dari luar daerah, dan rencana B adalah teman-teman Pawon yang sudah biasa hadir dan diskusi”, Yudhi memaparkan.
Kemudian melalui akun jejaring sosial dan blog Buletin Sastra Pawon diumumkan rencana festival itu dan membuka peluang bagi siapapun untuk memberikan donasi seiklasnya. Karena melihat semangat Komunitas Pawon, beberapa orang tertarik menjadi donatur dan menyisihkan uang dan membantu menyediakan fasilitas dan sarana yang diperlukan.
Sampai beberapa hari menjelang acara, dana yang terkumpul mencapai angka Rp 11,5 juta. Sementara untuk menjalankan seluruh program festival (7 acara festival dan 3 acara pra festival) secara benar dan layak, dibutuhkan dana sekira Rp 21 juta.
Pengumpulan donasi ini diperbarui infonya setiap saat di blog Pawon, lengkap dengan nama donatur dan jumlah donasinya. Keterbukaan itu menambah simpati dari berbagai kalangan. Misalnya beberapa minggu menjelang festival, pengelola Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) memberikan bantuan fasilitas penginapan di Wisma Seni bagi pembicara dan 30 peserta yang sudah mendaftarkan diri sebelumnya, juga snack dan wedangan di dua acara festival yang bertempat di TBJT. Selain itu pihak pengelola Balai Soedjatmoko, selain menyediakan tempat, juga memberikan honor untuk 4 orang pembicara dan 2 orang moderator acara. Ada juga sponsor yang memberikan donasi berupa uang dan fasilitas, ditambah membuatkan 500 poster dan desain kaos.
Kegigihan Komunitas Sastra Pawon untuk mewujudkan mimpi penyelenggaraan festival yang lebih meriah daripada 3 tahun sebelumnya betul-betul kuat. Sejak diumumkannya rencana ini pada akhir tahun 2013, seluruh anggota Pawon bekerja keras melakukan pendekatan dan promosi pada pihak sponsor, pengisi acara, dan pegiat seni lainnya.
Beberapa orang yang diundang mengisi acara Pawon memang sudah pernah datang ke Solo dan ketularan semangat berkarya yang positif dari seniman Solo. Maka setelah mendapatkan informasi yang detil dan terbuka tentang kekurangan dana yang dialami Pawon, akhirnya secara sukarela, mereka rela merogoh kocek pribadi lalu datang dengan riang ke Solo. Hal ini juga berlaku pada pendekatan terhadap beberapa pengisi acara yang dengan senang hati datang meramaikan festival.
Di acara Buku Bicara misalnya, para pengulas yang membahas kelima buku para penulis yang diundang, hanya mendapatkan buku yang diulasnya sebagai apresiasi. Begitupun para penulis bukunya, mereka dengan riang gembira berada di Solo tanpa pamrih. Namun mereka mendapatkan penginapan yang layak dan jamuan yang bersahaja.
“Kita patut meniru semangat Pawon, karena semangat itulah yang membuat kita dengan sukarela datang menghadiri festival ini. Bahkan seharusnya teman-teman di kota lain merasa iri dengan semangat Pawon ini. Semoga acara ini bisa diadakan setiap tahun ”, ujar penulis Guntur Alam ketika ditanya alasannya rela jauh-jauh dari Bekasi datang ke Solo.
Bukan hanya Guntur Alam, penyair Khairul Umam bahkan rela bersepeda motor dari Madura ke Solo demi menghadiri festival itu. “Ini pengalaman pertama saya bersepeda motor ke Solo. Sungguh ini pengalaman yang sangat puitis, bisa bertemu dan bersilaturahmi dengan teman-teman dari daerah lain”, ungkap Khairul yang puisinya masuk dalam buku Solo dalam Puisi.
“Saya mendadak beli tiket ke Solo pas hari keberangkatan, dengan harapan mendapatkan sesuatu setelah mengikuti festival. Ya semacam studi banding. Siapa tahu nanti di Bandung bisa membuat acara serupa”, ujar Romyan, penyair yang puisinya lolos seleksi .
Meski lokasi acara dari satu tempat ke tempat lainnya cukup berjauhan, hingga memakan waktu sekitar 15-20 menit perjalanan dengan kendaraan, dan jarak terdekat hanya dari Wisma Seni ke teater Arena TBJT, yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki, para pembicara dan peserta tetap menikmati seluruh rangkaian acara dengan antusias. Ini terlihat dari jumlah peserta yang hadir di setiap acara rata-rata selalu berkisar sekitar 60-70 orang, dan pada acara Solo dalam Puisi penontonnya lebih banyak lagi, 165 orang.
Kesediaan para pembicara, tamu undangan, dan peserta yang datang dari berbagai daerah seperti Jakarta, Bekasi, Bandung, Garut, Yogyakarta, Mojokerto, Tulungagung, Probolinggo, Caruban hingga Madura merupakan bukti bahwa militansi dan kekuatan jaringan yang dimiliki Pawon adalah kunci keberhasilan penyelenggaraaan Festival Sastra Solo 2014. Semua berharap, Komunitas Sastra Pawon akan terus membuat festival serupa sebagai agenda rutin tahunan di kota Solo.
***


http://ratnaayubudhiarti.wordpress.com/2014/03/03/festival-dengan-modal-awal-rp-126-000/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar