Hujan menderas sore itu. Pendopo Wisma Seni, Taman Budaya Jawa
Tengah diselimuti udara dingin. Pukul 15.30 ketika seharusnya acara
sudah dimulai, beberapa orang mulai berdatangan. Mereka mengalami
kendala transportasi dan dihadang hujan saat berpindah dari lokasi acara
Melacak Iklan Sastra Tempo Dulu, di Kepatihan Artspace. Jarak yang
memakan waktu sekitar 15 menit dengan kendaraan itu tak menghalangi niat
para penikmat sastra dan peserta untuk menghadiri acara.
Selain diskusi tentang buku Student Hidjo karya Mas Marco
Kartodikromo di Balai Soedjatmoko, Buku Bicara dari 5 orang penulis
adalah bagian yang ditunggu-tunggu pada Sabtu 22 Februari 2014. Sebab
kebetulan 4 penulis yang bukunya terpilih untuk dibahas berasal dari
Jawa Barat, dan 1 penulis lain berasal dari Solo. Buku-buku yang diulas
adalah cerita silat Jaka Wulung- Hermawan Aksan (Bandung), kumpulan
puisi Upacara Bakar Rambut- Dian Hartati (Bandung), novel Jurai –Guntur
Alam (Bekasi), kumpulan puisi Dada yang Terbelah- Ratna Ayu Budhiarti
(Garut), kumpulan cerpen Rembulan Merah- Abednego Afriadi (Solo).
Suasana menjadi hangat setelah moderator, Indah Darmastuti, membuka
acara dan menyilakan peserta menikmati wedangan yang disajikan. Kemudian
5 orang pengulas buku satu persatu mulai mempresentasikan esainya.
Sementara para penulisnya sendiri berbaur dengan peserta, menyimak
dengan baik setiap tutur kata pengulas.
Setyaningsih, pengulas pertama yang membahas tentang buku kumpulan
puisi Dada yang Terbelah, menyorot peran penting seorang wanita dalam
kedudukannya di rumah tangga: sebagai anak, istri, dan ibu. Esais muda
yang tulisannya kerap muncul di berbagai media lokal dan nasional itu
mengutarakan bahwa puisi mengimajinasikan gerak tubuh bersama waktu dan
peristiwa. Dan peran diri dalam membentuk dan memilih kata-kata demi
kelahiran puisi.
Novel Jurai diulas oleh Andri Saptono, penulis cerpen dan novel
sekaligus editor di salah satu penerbit di Solo. Dalam novel ini, Guntur
Alam dianggap berhasil menampilkan cerita dengan latar belakang
lokalitas Tanah Abang, Sumatera Selatan. Kata jurai itu sendiri bermakna
garis nasib (kehormatan) pada seorang anak yang dikait-kaitkan orang
dengan ayah-ibu si anak tersebut. Bila ada seorang anak yang terkenal
urakan, nakal, maka akan dikatakan: itu jurai orang tuanya, seperti
pepatah buah tak akan jauh dari pohonnya. Banyak nilai indah yang
disematkan dalam perjuangan tokoh Catuk di novel ini.
”Tapi saya agak terganggu dengan pola pikir Catuk yang terlalu
dewasa, tak sesuai dengan usia anak kelas lima SD. Begitupun ketika ada
adegan ia jatuh cinta pada teman wanitanya lalu menjalani cinta
platonis. Penggambaran kedewasaannya terlalu dipaksakan”, Andri melempar
kritik, meskipun menurutnya secara kualitas teknis novel ini tak banyak
masalah.
Sedangkan pada kumpulan cerpen Rembulan Merah, sang pengulas, M.
Fauzi Sukri, mengungkapkan bahwa pembaca akan lebih gampang menemukan
sosok ayah sebagai tokoh yang paling sering menjadi pusat, bukan ibu.
Dari 15 cerita pendek yang terkumpul di dalamnya, ada bayang-bayang
pemaknaan keluarga. Keluarga bukan saja menjadi bingkai yang melingkupi
tokohnya, tapi bahkan menguasai dan menjadi semacam kekuatan yang tak
pernah bisa dilawan atau tidak boleh dilawan, dibongkar, dan
dihancurkan.
Lain lagi dengan buku kumpulan puisi Upacara Bakar Rambut yang diulas
oleh Arif Saifudin Yudistira. Menurut Arif, puisi itu subjektif.
Puisi-puisi yang ditulis Dian Hartati lebih merupakan puisi keseharian
dengan dibingkai oleh perasaan-perasaan penyairnya. Kumpulan puisi Dian
seperti mengajak pembaca ke dalam duka yang mendalam tanpa harus
meneteskan air mata meski penyair sudah mencoba membagi duka laranya.
Pembahasan serius menjadi cair ketika Gunawan Tri Atmojo menyatakan
kekecewaannya secara gamblang terhadap trilogi cerita silat Jaka Wulung.
“Sayangnya saya tidak menemukan adegan pendekar mencabuli perempuan
sambil merampok. Padahal kan biasanya cerita silat itu gitu, kalau gak
tokohnya mabuk di kedai lalu berantem, ya ada adegan seksualnya. Tapi
saya gak menemukan itu di Jaka Wulung”, papar Gunawan setengah
berkelakar sehingga membuat yang hadir tertawa.
Hermawan Aksan menulis Jaka Wulung berdasarkan kaidah-kaidah penulisan
cersil yang meliputi petualangan seorang pendekar nomaden, pencarian
jati diri, pembalasan dendam, dan kisah asmara yang menyedihkan. Keempat
kaidah tersebut diikat dengan latar sejarah terpecah-belahnya Kerajaan
Sunda dan data geografis yang cukup akurat.
Selain ulasan kelima orang yang dibukukan dalam Kumpulan Tulisan
Festival Sastra Solo, ada 10 ulasan lain dari orang yang berbeda. Mereka
adalah Priyadi, Bisri Nurhadi, Saeful Achyar, Karisma Fahmi Y, Mustaim
Romli, Supriyadi, Wijayanto Puji, Budiawan Dwi Santoso, Abdur Rohman,
Ngadiyo. Ulasan mereka terhimpun dalam sebuah kumpulan tulisan berjudul
Apresiasi Buku, dan dibagikan secara gratis kepada semua yang hadir pada
saat acara.
“Pawon keren, bisa menghadirkan para penulis alumni UWRF, bahkan ada
salah satu panitia yang satu angkatan di UWRFnya. Apalagi buku yang
dibahas beda-beda genre. Ini menjadi pemicu semangat untuk teman-teman
yang lain agar lebih banyak lagi berkarya”, ujar Seruni, penulis dari
Solo, ketika ditanya tanggapannya terhadap acara ini.
Dari ketiga genre tulisan yang dikupas dalam Buku Bicara, cersil
Hermawan Aksan dan novel Guntur Alam mendapat tanggapan paling ramai
dari peserta yang hadir. Pertanyaan seputar pemberian nama jurus yang
puitis dalam Jaka Wulung, dan pertanyaan tentang cinta platonis anak
kelas V SD dalam kisah Jurai, berhasil mengundang gelak tawa yang riuh
dari penonton.
Kelima pengulas sore itu tampak sama bahagianya dengan lima penulis
yang bukunya diapresiasi. Sebelum acara ditutup, masing-masing penulis
memberikan penjelasan tentang pemilihan judul dan tema yang diangkat
dalam bukunya. Hujan tak lagi deras di Wisma Seni TBJT. Setelah
istirahat sejenak, panitia dan peserta bersiap mengikuti rangkaian acara
terakhir di hari pertama festival, Solo dalam Puisi.
***
http://ratnaayubudhiarti.wordpress.com/2014/03/03/buku-bicara-5-penulis-3-genre/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar