Kamis, 06 Maret 2014

BUKU BICARA, 5 PENULIS 3 GENRE, oleh: Ratna Ayu Budhiarti (dimuat di Selisik, Pikiran Rakyat, Senin 3 Maret 2014, halaman 21)

Hujan menderas sore itu. Pendopo Wisma Seni, Taman Budaya Jawa Tengah diselimuti udara dingin. Pukul 15.30 ketika seharusnya acara sudah dimulai, beberapa orang mulai berdatangan. Mereka mengalami kendala transportasi dan dihadang hujan saat berpindah dari lokasi acara Melacak Iklan Sastra Tempo Dulu, di Kepatihan Artspace. Jarak yang memakan waktu sekitar 15 menit dengan kendaraan itu tak menghalangi niat para penikmat sastra dan peserta untuk menghadiri acara.
Selain diskusi tentang buku Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo di Balai Soedjatmoko, Buku Bicara dari 5 orang penulis adalah bagian yang ditunggu-tunggu pada Sabtu 22 Februari 2014. Sebab kebetulan 4 penulis yang bukunya terpilih untuk dibahas berasal dari Jawa Barat, dan 1 penulis lain berasal dari Solo. Buku-buku yang diulas adalah cerita silat Jaka Wulung- Hermawan Aksan (Bandung), kumpulan puisi Upacara Bakar Rambut- Dian Hartati (Bandung), novel Jurai –Guntur Alam (Bekasi), kumpulan puisi Dada yang Terbelah- Ratna Ayu Budhiarti (Garut), kumpulan cerpen Rembulan Merah- Abednego Afriadi (Solo).
Suasana menjadi hangat setelah moderator, Indah Darmastuti, membuka acara dan menyilakan peserta menikmati wedangan yang disajikan. Kemudian 5 orang pengulas buku satu persatu mulai mempresentasikan esainya. Sementara para penulisnya sendiri berbaur dengan peserta, menyimak dengan baik setiap tutur kata pengulas.
Setyaningsih, pengulas pertama yang membahas tentang buku kumpulan puisi Dada yang Terbelah, menyorot peran penting seorang wanita dalam kedudukannya di rumah tangga: sebagai anak, istri, dan ibu. Esais muda yang tulisannya kerap muncul di berbagai media lokal dan nasional itu mengutarakan bahwa puisi mengimajinasikan gerak tubuh bersama waktu dan peristiwa. Dan peran diri dalam membentuk dan memilih kata-kata demi kelahiran puisi.
Novel Jurai diulas oleh Andri Saptono, penulis cerpen dan novel sekaligus editor di salah satu penerbit di Solo. Dalam novel ini, Guntur Alam dianggap berhasil menampilkan cerita dengan latar belakang lokalitas Tanah Abang, Sumatera Selatan. Kata jurai itu sendiri bermakna garis nasib (kehormatan) pada seorang anak yang dikait-kaitkan orang dengan ayah-ibu si anak tersebut. Bila ada seorang anak yang terkenal urakan, nakal, maka akan dikatakan: itu jurai orang tuanya, seperti pepatah buah tak akan jauh dari pohonnya. Banyak nilai indah yang disematkan dalam perjuangan tokoh Catuk di novel ini.
”Tapi saya agak terganggu dengan pola pikir Catuk yang terlalu dewasa, tak sesuai dengan usia anak kelas lima SD. Begitupun ketika ada adegan ia jatuh cinta pada teman wanitanya lalu menjalani cinta platonis. Penggambaran kedewasaannya terlalu dipaksakan”, Andri melempar kritik, meskipun menurutnya secara kualitas teknis novel ini tak banyak masalah.
Sedangkan pada kumpulan cerpen Rembulan Merah, sang pengulas, M. Fauzi Sukri, mengungkapkan bahwa pembaca akan lebih gampang menemukan sosok ayah sebagai tokoh yang paling sering menjadi pusat, bukan ibu. Dari 15 cerita pendek yang terkumpul di dalamnya, ada bayang-bayang pemaknaan keluarga. Keluarga bukan saja menjadi bingkai yang melingkupi tokohnya, tapi bahkan menguasai dan menjadi semacam kekuatan yang tak pernah bisa dilawan atau tidak boleh dilawan, dibongkar, dan dihancurkan.
Lain lagi dengan buku kumpulan puisi Upacara Bakar Rambut yang diulas oleh Arif Saifudin Yudistira. Menurut Arif, puisi itu subjektif. Puisi-puisi yang ditulis Dian Hartati lebih merupakan puisi keseharian dengan dibingkai oleh perasaan-perasaan penyairnya. Kumpulan puisi Dian seperti mengajak pembaca ke dalam duka yang mendalam tanpa harus meneteskan air mata meski penyair sudah mencoba membagi duka laranya.
Pembahasan serius menjadi cair ketika Gunawan Tri Atmojo menyatakan kekecewaannya secara gamblang terhadap trilogi cerita silat Jaka Wulung. “Sayangnya saya tidak menemukan adegan pendekar mencabuli perempuan sambil merampok. Padahal kan biasanya cerita silat itu gitu, kalau gak tokohnya mabuk di kedai lalu berantem, ya ada adegan seksualnya. Tapi saya gak menemukan itu di Jaka Wulung”, papar Gunawan setengah berkelakar sehingga membuat yang hadir tertawa.
Hermawan Aksan menulis Jaka Wulung berdasarkan kaidah-kaidah penulisan cersil yang meliputi petualangan seorang pendekar nomaden, pencarian jati diri, pembalasan dendam, dan kisah asmara yang menyedihkan. Keempat kaidah tersebut diikat dengan latar sejarah terpecah-belahnya Kerajaan Sunda dan data geografis yang cukup akurat.
Selain ulasan kelima orang yang dibukukan dalam Kumpulan Tulisan Festival Sastra Solo, ada 10 ulasan lain dari orang yang berbeda. Mereka adalah Priyadi, Bisri Nurhadi, Saeful Achyar, Karisma Fahmi Y, Mustaim Romli, Supriyadi, Wijayanto Puji, Budiawan Dwi Santoso, Abdur Rohman, Ngadiyo. Ulasan mereka terhimpun dalam sebuah kumpulan tulisan berjudul Apresiasi Buku, dan dibagikan secara gratis kepada semua yang hadir pada saat acara.
“Pawon keren, bisa menghadirkan para penulis alumni UWRF, bahkan ada salah satu panitia yang satu angkatan di UWRFnya. Apalagi buku yang dibahas beda-beda genre. Ini menjadi pemicu semangat untuk teman-teman yang lain agar lebih banyak lagi berkarya”, ujar Seruni, penulis dari Solo, ketika ditanya tanggapannya terhadap acara ini.
Dari ketiga genre tulisan yang dikupas dalam Buku Bicara, cersil Hermawan Aksan dan novel Guntur Alam mendapat tanggapan paling ramai dari peserta yang hadir. Pertanyaan seputar pemberian nama jurus yang puitis dalam Jaka Wulung, dan pertanyaan tentang cinta platonis anak kelas V SD dalam kisah Jurai, berhasil mengundang gelak tawa yang riuh dari penonton.
Kelima pengulas sore itu tampak sama bahagianya dengan lima penulis yang bukunya diapresiasi. Sebelum acara ditutup, masing-masing penulis memberikan penjelasan tentang pemilihan judul dan tema yang diangkat dalam bukunya. Hujan tak lagi deras di Wisma Seni TBJT. Setelah istirahat sejenak, panitia dan peserta bersiap mengikuti rangkaian acara terakhir di hari pertama festival, Solo dalam Puisi.
***






http://ratnaayubudhiarti.wordpress.com/2014/03/03/buku-bicara-5-penulis-3-genre/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar