Kamis, 06 Maret 2014

FESTIVAL SASTRA SOLO DAN SEMANGAT BERKARYA, Oleh: Ratna Ayu Budhiarti (dimuat di Selisik, Pikiran Rakyat, Senin 3 Maret 2014. Halaman 21)


Kita kerap mendengar kata “festival” pada acara yang cukup besar. Arti kata “festival” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah satu hari atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa penting dan bersejarah; pesta rakyat. Sejarah mencatat keberadaan festival tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan sebuah kota. Demikian pula yang terjadi di Solo.
Pemerintah Kota Solo rutin menggelar puluhan festival sepanjang tahun. Contohnya Festival Dolanan Bocah, Festival Gethek, Festival Jenang Solo, Festival Keroncong, Festival Ketoprak, Festival Suro, Festival Wayang, dan sebagainya. Penyelenggaraan berbagai festival ini berdampak positif bagi peningkatan citra Solo sebagai Kota Kreatif dan Kota Budaya.
“Selama 3 tahun terakhir ini Solo mendapat julukan Kota Festival, namun kebanyakan sifatnya lebih kepada budaya atau festival-festival pertunjukan. Karena itulah kami ingin membuat festival yang berbeda dengan yang telah ada sebelumnya. Apalagi sastra, tak banyak festival yang mengakomodasinya”, Yudhi Herwibowo, ketua panitia Festival Sastra Solo 2014 menjelaskan.
Banyak seniman yang pernah berproses kreatif di Solo. Misalnya Arifin C. Noer, Basuki Rahmat, Putu Wijaya, Rendra, Afrizal Malna, Tisna Sanjaya, F.X. Harsono, ratusan grup teater, sastrawan, penyair, novelis, cerpenis, pernah membacakan karya-karya mereka di Solo. Bahkan Peter Brook, sutradara legendaris itu juga pernah datang ke Solo.
Berdasarkan pemikiran itu, Komunitas Sastra Pawon bertekad menyelenggarakan sebuah festival yang bertujuan saling mengeratkan silaturahmi para sastrawan sekaligus mengakrabkan sastra dan dunia literasi di masyarakat. Komunitas ini sendiri terbentuk dari ide penerbitan buletin sastra, yang didukung oleh sejumlah komunitas sastra di Solo. Buletin yang terbit pertama kali pada 27 Januari 2007 berawal dari kegelisahan 3 orang yang bergiat di bidang sastra. Mereka adalah Bandung Mawardi, Joko Sumantri, dan Ridho Al Qodri. Setelah berdiskusi, nama “pawon” dilontarkan oleh Bandung, dan akhirnya disepakati. Nama itu diambil dari khazanah Jawa, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi dapur. Pawon mengandung arti tempat memasak, kerja produktif, suasana, aroma, makanan, etos hidup, perjumpaan, dan interaksi. Dalam perjalanannya, Buletin Pawon meluaskan kegiatan ke wilayah lain diluar penerbitan, yakni mengadakan diskusi, workshop penulisan, kelas menulis, pentas seni dan sastra, menambah lini penerbitan, pendokumentasian kota melalui cerita dan sebagainya.
Tiga tahun lalu Pawon mengadakan acara bertajuk Festival Sastra Pawon Solo. Acara yang berlangsung pada 22-23 Januari 2011 digelar di empat tempat: Taman Bale Kambang, Perpustakaan Radya Pustaka, Ngarsopuro, dan Kampung Batik Kauman. Kemasannya nyaris sama dengan acara sastra pada umumnya: seputar diskusi buku, literasi, dan proses kreatif kepenulisan. Tak beda jauh dengan Festival Sastra Solo 2014.
“Yang terasa lebih meriah adalah karena tahun ini lebih banyak peserta dari luar Solo yang ikut berpartisipasi meramaikan acara”, Indah Darmastuti, panitia sekaligus moderator memaparkan. Selain diorganisasi oleh Pawon, festival ini juga didukung oleh Balai Soedjatmoko Solo, Taman Budaya Jawa Tengah, Buku Katta, Rempah Rumah Karya, Kepatihan Artspace, penerbit Bentang Pustaka, Jagat Abjad, dan Janur Biru.
Jika dibandingkan dengan festival sastra lain, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) misalnya, Festival Sastra Solo dapat diumpamakan miniaturnya, dengan penentuan lokasi acara di 5 tempat berbeda: Balai Soedjatmoko, Kepatihan Artspace, Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Wisma Seni TBJT, dan Rempah Rumah Karya. Dengan panitia inti berjumlah 7 orang, dan volunteer hanya 4 orang, acara dan pengaturan waktunya bisa dikatakan efisien.
Ada 7 acara dalam festival kali ini: diskusi buku Student Hidjo dan Marco Kartodikromo, Melacak Iklan-iklan Sastra Tempo Dulu, Buku Bicara, Solo dalam Puisi, Bicara Alice Monroe, Bicara Sastra dengan Raudal Tanjung Banua, Para Mudha Remen Cerkak lan Geguritan (karya sastra Jawa). Dari ketujuh rangkaian acara, Solo dalam Puisi mendapat respon kunjungan yang paling besar. Sekira 165 penonton memadati tempat duduk di Teater Arena TBJT.
Puncak acara yang mengharukan adalah syukuran ulang tahun Pawon yang ke-7 tahun dengan prosesi pemotongan 7 gunungan tumpeng yang sebelumnya diiringi doa oleh Mbah Prapto dan tarian cucuk lampah oleh Boby Ari, seniman tari Solo. Setelahnya ada doa bersama untuk Joko Sumantri, salah satu pendiri Pawon yang sudah tiada.
“Festival ini seperti keajaiban. Saya sangat terharu, selain dana yang terbatas, dukungan dari seniman-seniman Solo sangat baik, sehingga setiap acara bisa terlaksana dengan lancar. Para penulis yang datang pun dapat mengeratkan kekerabatan, sebab kita tak pernah bisa sendiri dalam dunia kepenulisan”, ujar Puitri Hatiningsih, salah satu panitia.
Festival Sastra Solo 2014 memang sudah lewat. Tapi banyak hal yang bisa dipelajari dari proses penyelenggaraannya. “Rasanya ini harus ditiru oleh sastrawan di Bandung. Sepertinya harus ada yang bisa merangkul seluruh komunitas untuk menyelenggarakan acara seperti yang dibuat oleh Pawon ini”, ujar penulis Hermawan Aksan ketika ditanya harapannya selepas mengikuti acara.
“Saya seperti lahir kembali karena sudah lama tidak mengikuti festival sastra. Suatu hal yang luar biasa ketika Pawon bisa membuat festival yang meriah dengan modal awal yang sangat terbatas. Saya ingin di Bandung ada festival semacam ini”, harapan serupa diungkap oleh penulis Dian Hartati.
Beni Setia, penulis senior dari Caruban, Jawa Timur, menilai loyalitas anggota komunitas untuk tetap bersastra sangat tinggi, “Pawon itu menghidupkan diri dari honor yang disisihkan anggota untuk diskusi-diskusi yang mereka buat. Bahkan orang-orangnya siap nombok demi kelangsungan acara”
Semoga Jawa Barat, atau Bandung khususnya, bisa meniru semangat Komunitas Sastra Pawon dalam menggerakkan dunia literasi dan penyelenggaraan festival sastra.


http://ratnaayubudhiarti.wordpress.com/2014/03/03/festival-sastra-solo-dan-semangat-berkarya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar