Kamis, 27 Februari 2014

Ucapan Terima Kasih



(Buku Bicara) Upacara Bakar Rambut: Kado Bagi Puisi, oleh Abdur Rohman



Kita mengenal Dian Hartati sebagai salah seorang tokoh sastra kita yang istiqomah menulis puisi, yang menghendaki diri sebagai penyair. Ada beberapa kumpulan puisinya yang sudah terbit menjadi buku: Nyalindung (2005), Cerita Tentang Daun (2007), dan Kalender Lunar (2011). Selain itu, puisi-puisinya juga banyak yang telah dibukukan dalam antologi bersama. Beberapa puisinya juga pernah singgah di berbagai media cetak. Hebat, Dian menggerakan literasi melalui puisi!
Dan dalam Upacara Bakar Rambut ini kita berjumpa dengan Dian sebagai penyair, yaitu mahkluk berakal yang selalu bertanya-tanya tentang kehidupan, merenung, dan suka menulis, meramu kata. Dian, dalam sajak-sajak yang dikumpulkan ini, yang menarik bagi saya adalah dia sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap berbagai masalah mendesak yang mudah muncul ke permukaan. Dian tak menaruh perhatian terhadap berbagai masalah sosial, agama, politik. Dian sebagai penyair lebih memilih masalah-masalah pribadi yang ia alami dalam kehidupannya. Bahkan ia menyebut kumpulan puisinya ini sebagai “kado termahal” bagi dirinya. Ia juga menyebutkan bahwa puisi merupakan “media kebahagiaan diri”.
Selama membaca Upacara Bakar Rambut ini, ada fenomona aneh yang muncul dalam diri saya. Tiba-tiba saya teringat Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie. Saya mengenal Wahib dan Gie melalui catatan hariannya. Keduanya menandai waktu dengan menulis catatan harian. Tiap saat, mereka merawat kejadian dengan menulis catatan harian. Ini berbeda dengan Dian. Yang menarik dari Dian, jika biasanya penanda waktu adalah dengan menulis catatan harian, Dian sendiri menandai waktu dengan menulis puisi. Saya membaca kumpulan puisi ini seperti membaca catatan harian dari Dian. Puisi Dian berangkat dari tema-tema yang ia alami sehari-hari. Puisi bagi Dian adalah simbol waktu. Puisi adalah pertanda. Dian ingin berkomunikasi dengan masa lalunya dengan puisi. Interaksi melalui puisi.
Dian menulis puisi dari realitas kehidupannya. Realitas yang ia alami sebagai seorang diri. Maka, tema-tema yang diangkat oleh Dian juga merupakan tema-tema yang tak jauh dari apa yang ia alami. Mungkin kalau boleh saya katakan, saya menyebut puisi Dian sebagai puisi “realisme diri”. Dian mengangkat tema dalam tahapan kehidupannya: kelahiran, pernikahan, kepergian.
Tema yang diangkat Dian dalam tahap kehidupannya ini bisa kita lihat misalnya dalam puisi “Prosesi Pernikahan”, bercerita saat dirinya menikah. Saya kutipkan puisinya secara lengkap:

Prosesi Pernikahan

perawan tak boleh mandi
pada hari pernikahan
takut hujan datang
dan pesta bubar
ini rahasiaku
jangan kau sebarkan
sebab aku melanggar yang sakral

pagi putih
siang merah
simpul tubuhku penuh mantra
riasan wajahku penuh purnama

lihat baik-baik
perias itu melukis di kulitku
alis
mata
pipi
bibir
dan segalanya berubah
tak ada lagi cacat
tak terlihat pucat

aku duduk
menunduk
tak mau lagi
memakai sanggul yang berat ini
pukul delapan tiga puluh
calon pasanganku
dikalung bunga
dia meringis teringat ibunya sendiri

pukul delapan empat puluh
dia mengulang kalimat
karena terlampau bersemangat
dia lupa sepakat

peluit telah dibunyikan
iring-iringan musik mengantar
pelepasan
bahtera mulai mengambang
untung saja ombak tenang
semoga selalu begitu
selamanya

pukul sembilan tepat
penghulu undur diri
semua sepakat
kami telah diikat

wahai ayah,
tak ada lagi kau
di samping tubuhku
aku mengayuh sendiri
aku haru sendiri

wahai ibu,
tak ada lagi kau
ketika bangun nanti
aku yang menyiapkan segala
air mengepul
dapur harus berasap

pukul dua belas
azan datang
membawa bunga
dari surga katanya,
hai suamiku kau jangan cemburu
azan hanya mampir
mengingatkan
tubuh kita
tubuh pinjaman
milik tuan semata

ramai-ramai tamu memenuhi aula
digadang-gadangkan pesta pora
segala makanan dikeluarkan
hanya sekali aku menikah
ratu bagi diri sendiri

Lebih dalam lagi, tema-tema yang diangkat oleh Dian dalam Upacara Bakar Rambut ini banyak yang bertema kesedihan. Ini bisa kita lihat misalnya dalam “Aku Mencintaimu Bersama Kematian yang Datang” yang bercerita tentang kesunyian, tangis, kematian. Tema serupa bisa kita lihat dalam “Tubuh Pinjaman” yang juga bercerita tentang kematian, kesiapan bertemu dengan Tuhan. Bisa juga kita lihat dalam “Begitu Aku Berbisik di Telingamu” yang bercerita tentang sakit, kesedihan, menginginkan kesehatan. Juga masih bisa kita lihat dalam puisi-puisi lainnya seperti “Masa Lalu Laki-laki Bermata Merah”, “Menghapusmu, Kes...”, “Berjalan di Bawah Keranda” dan sebagainya. Sepintas puisi-puisi dari Dian ini seolah mirip sebagai obituari, kumpulan puisi obituari.
Bahkan saya sangat terharu ketika membaca “Aku Kehilangan si Peracik Mimpi”. Dalam puisi itu, Dian bercerita tentang bagaimana sedihnya kehilangan orang yang sangat ia sayangi. Dian bercerita:

sesekali aku akan pergi ke tempat lahirmu
berziarah dan menaburkan bunga
sementara ini, aku ingin menghabiskan kesedihan
menangis dan menangis


Yang menarik dari pemilihan tema-tema kesedihan ini, ketika di awal Dian mengungkapkan bahwa puisi merupakan media kebahagiaan diri. Namun pada kenyataannya, tema-tema yang dipilih Dian bukan tema-tema tentang kebahagiaan, justru tema-tema kesedihan. Dalam hati saya banyak bertanya-tanya, mungkinkah Dian bermaksud menulis puisi sebagai sarana pelipur lara? Apa ini yang dimaksud Dian bahwa puisi merupakan media kebahagiaan? Mungkinkah puisi dapat mengantarkan manusia menuju gerbang kebahagiaan?
Yang pasti, banyak harapan yang ingin dikembangkan Dian menjadi realitas diri. Secara keseluruhan, kumpulan puisi dalam Upacara Bakar Rambut ini bagi saya merupakan wujud nyata harapan-harapan Dian itu telah terwujud. Setidaknya, puisi sudah menjadi realitas bagi diri Dian. Dian adalah puisi, puisi adalah dian. Manunggaling penyair dan puisi. Pantas jika Dian menyebut bahwa puisi merupakan kado termahal bagi diri. Puisi adalah media kebahagiaan diri!


Mahasiswa Sosiologi FISIP UNS, Santri Bilik Literasi
 




(Buku Bicara) Bulan Memerah: Pengarang dan Dunianya, oleh Ngadiyo



Mengarang atau mereka-reka cerita menarik perhatian pembaca. Mengusik untuk mengulik lebih jauh proses kreatif. Sebelumnya penasaran darimana ide-ide itu muncul dan dituangkan ke dalam dunianya, dunia kepengarangan. Tidak bisa dipungkiri kalau pengarang melakukan pengembaraan fantasi berdasarkan apa yang sudah diindera dan melanjutkannya dalam proses biokimia.
Ketika mengarang, sang pengarang memiliki kemauan bercerita. Materi yang akan diceritakan sudah siap di alam bawah sadarnya. Seperti diungkapkan maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer bahwa “Kemauan kita apa? Materinya sudah tersedia di bawah sadar. Kemauan kita apa? Itu merupakan tetesan kimia pada materi yang sudah ada. Ia berkembang sendiri dengan kimia ini, kimia baru. Saya tinggal ngikuti aja gimana perkembangan kimia dari materi dan kemauan kita. Apa aja bisa itu: kritik, romantik, romans... Bisa aja sesuai dengan materi yang ada di bawah sadar dan kemauan kita apa. Kemauan kita sebatas kimia itu. Jadi menulis merupakan proses biokimia. Sederhana sekali. Nggak ada teori apa-apa. Silakan! (Hasudungan Sirait, Rin Hindrayati, Rheinhardt, 2011: 3).
Aku menekuri kumpulan cerpen Bulan Memerah karya Abednego Afriadi (Sheila, 2013) ketika perjalanan pulang kampung ke Kebumen, Kamis 6 Januari 2014 menggunakan kereta Prameks. Banyak tempat di beberapa cerpen itu yang sudah kuketahui. Tidak asing dengan keseharianku juga. Aku meyakini sang pengarang sangat paham lokasi yang pernah dikunjunginya. Semuanya realis. Bukan fantasi belaka. Pembaca bisa menemukan lokasi-lokasi yang diceritakan Abednego.
Selain lokasi, beberapa nama asli teman-teman pengarang pun disebutkan. Sekali lagi realis tanpa harus mengubah nama mereka dengan nama samaran. Misalnya: “Tahukah kau, Ayah? Semalaman aku memimpikanmu. Dari seorang pengarang cerita, aku ingin belajar menceritakannya dengan caraku. Jika ayah bisa membaca, akan kau temukan kata-kata yang aku ukir setengah mendayu. Maklumlah, Ayah, teman-temanku itu mahasiswa sastra dan penulis yang sering memenangi sayembara. Ada Mas Yudhi, Mbak Sanie, Mbak Indah, Om Effendi, dan Mbak Puitri... (Hal.3).
Kesadaran pengarang yang ingin mengkritik diungkapkan dengan jelas terhadap kebijakan pemerintah. Kepekaan sekaligus protes sosial kemanusiaan membuat pembaca memiliki memori kolektif. Masih pada cerpen pertama yang kubaca berjudul “Petiklah Gitar Itu, Ayah”. Ayah seorang buta, pengemis yang selalu meminta-minta. Tapi sosok Aku dalam cerpen itu peka terhadap realitas. Mengusik dirinya untuk melakukan protes dan menampar pemerintah. Baginya kebijakan tidak becus sekaligus menurunkan martabat manusia harus dilawan.
“Masih ingatkah Ayah? Ada seorang menteri yang kebetulan sedang makan bakso di warung kuno, lalu menyeramahi kita, bahwa memberikan secara langsung uang kepada kita sama halnya mendidik kita kita untuk menjadi pemalas. Katanya harus lewat yayasan, dinas terkait, atau melalui kegiatan keagamaan?... (hal. 5).
Kegelisasan pengarang dengan realitasnya justru menguat tajam dalam benaknya. Memori terhadap apa yang diindera atas kemanusiaan yang kurang manusiawi pada prinsip moralitasnya. Kehidupan Ayah pada tokoh di cerpen itu walaupun bersuara merdu, karena sewaktu muda dan belum buta nyaris rekaman membuatnya nestapa. Kebutaan menjadi disabilitas atas segala hal untuk menyerah. Sehingga jalan satu-satunya adalah mengemis.
Ketika aku membaca cerpen Mata yang Enak Dipandang (Ahmad Tohari), pelukisan sang penuntun orang buta yang menjadi mengemis sebagai ladang harapan selalu melihat mata yang iba sebagai mata yang penuh kasih. Pastilah mata-mata itu akan mengeluarkan kocek kepada para peminta-minta.
Kekeringan ritual sekaligus perlawanan religiusitas muncul ketika aku membaca cerpen berikutnya yang berjudul Kidung Liturgi. Atas status baru membangun rumah tangga dimana seseorang mengalami dunia baru, termasuk ritual religi. Walaupun sudah sangat rutin, tetapi kadang ruhani mengering. Dorongan melakukannya digoda oleh suasana alam yang merayapinya. Entah hujan, punya momongan atau sibuk kerja.
Dalam cerpen itu ritual religi ingin ditampik.
“Sejak menikah, aku tak pernah mengikuti Misa Malam Natal. Sudah dua kali ini, setiap akhir Desember, Natal memaksaku untuk tidak berkumpul bersama keluarga. natal adalah upacaraku bersetubuh dengan hujan, peristiwa dan kamera. Namun malam ini aku harus menyisakan waktuku, barang sebentar saja untuk menatap hujan. Jika tahun lalu pohon terang berhiaskan kerlap-kerlip lampu seperti memaksaku untuk tetap tinggal di rumah, tapi malam ini giliran delapan batang lilin enggan meredupkan nyalanya untukkku. Satu jam lagi misa berlansung, aku lekas berangkat, namun telepon berdering. Raras buru-buru mengangkatnya. (hal. 12-13).
Jeda ritual religi membuat perubahan signifikan untuk berkomtemplasi. Seolah tidak ingin melakukan sesuatu yang monton atas keadaan. Kesadaran beritual membuat pembaca terperangah untuk berpikir atas rutinitas sekaligus religiusitas harian hingga tahunan.
Cerpen berjudul Tenongan pun sangat keseharian dan juga lokasinya pun tidak jauh dari pengarang. Ini kecurigaanku. Tapi sangat relevan dengan apa yang dikemukakan oleh Michael Pearson, penulis yang mengungkap para sastrawan dunia dengan kepengarangan sekaligus lokasi-lokasi sebagai basis penciptaan karyanya. 
Dalam buku Tempat-Tempat Imajiner yang ditulis oleh Michael Pearson (1994) tentang kisah-kisah imajinatif dari karya sastra mendunia dan ditelusuri langsung oleh penulisnya, membuat kebermaknaan tentang keberadaan diri sang pengarang.  Ada yang pernah bilang kepadaku, Faulkner selalu menulis tentang hal-hal yang mengelilinginya, namun Hemingway selalu menulis tentang dirinya sendiri. Memang, tampaknya Ernest Hemingway adalah tokoh ciptaan dirinya yang terbaik. Dalam sebagian kariernya, Hemingway menghabiskan waktu untuk membuat legenda tentang dirinya sebanyak waktu yang dia habiskan untuk menulis (hal. xxiii).
Kumcer ini menghiburku sekaligus memberi warna atas memori kolektif yang sudah ada dalam benakku. Aku mengangguk ketika harus menemukan kesamaan latar dan juga realitas sosial. Benar-benar dekat dengan kehidupanku. Begitu.


*Ngadiyo, pengajar bahasa Inggris dan penulis, aktif di Pawon dan Bilik Literasi, Solo

(Buku Bicara) Upacara Bakar Rambut: Di Balik Kisah Ada Senja, oleh Mustaim Romli



Waktu berlalu begitu  cepat mengenang keindahan dalam berpristiwa bersama buku kumpulan puisi Upacara Mebakar Rambut, karya Dian Hartati, sajak puisi menekankan keindaham kata dan bahasa, curahan dan kisah waktu dalam puisi bertajuk bumbu, menyemaikan rasa mendalam sebuah makna. Bumbu bergelimang makna. Membaca tema bumbu mengingatkanku pada ibu yang sering memasakkanku dengan ramuan bumbu-bumbu penuh hasrat cinta dan kasih sayang pada keluarga. Bumbu dalam hidup bernafas dan makna dalam kenangan indah. Hanya besitan dalam kalbu kapan aku bisa menikmati bumbu ramuan ibu dalam masakan kenangan.
Tetasan darah yang mengalir mengenang kisah masa kecil. Cukup lama aku tidak lagi mencicipi bumbu kupasan ibu. Tak ada yang bisa menandingi bagi ku. Pernah juga aku membuat bumbu itu menjadi ramuan obat pelibur lara ketika berbaring di atas dipan berukuran 1,5 x 3 m, kenangan itu tak terlupakan tak mampu beranjak bergerak dan hanya terdengar nafas ku yang sesak ibuku dengan tangan yang lembut membuat balutan rempah ke sekujur tubuh, untuk mengalirkan darah darah beku karena lama berbaring di dipan tak bergerak. Tetes air matanya memberikan kesejukan tersendiri.
Mengenang memang hal yang indah menginginkan rasa jumpa, sedih dan tawa. Kenangan hanyut dalam pristiwa yang tak bernada dengan puisi gelombang penuh irama menyentuh sanubari. Puisi keseharian mengisahkan waktu-waktu yang terekam dalam memori abadi dalam kata. Perasaan itu seakan mengembalikan kenangan yang mendalam. Cinta, sayang, pilu dan kebahagiaan mengandung bermakna bagi pembaca dan penulis. Berbagi pengalaman mengisahkan waktu dan tempat mejadi lebih bermakna dalam catatan puisi.
Heroik, dinamis dan penuh desahan makna dan interpretasi. Mengenang pristiwa, penuh mencatatkan sejarah, pengabdian akan waktu adalah bagian dari sejarah hidup manusia. Walau terkdang terlupakan dan sejenak tertinggalkan. Karya ini patut di baca dan sangat menarik dalam merefleksikan kesetiaan kerinduan dan sayang.
Walaupun kenangan tak politis tapi siratan dalam laut dan tanah adalah politik diri.. Mensiasati kenangan dengan untai mantra puisi menginspirasi pembaca. Sejuta kenangan dalam kata. Geliat sastra semakin hidup dan berkembang dengan imajinasi dan gaya yang selayaknya patut di apresiasi. Mengenang hari lalu untuk meneropong masa depan di sampaikan secara epik oleh penyair Dian Hartanti.
Dalam kumpulan puisi untaian kelahiran, pernikahan dan kepergian kisah seluruh manusia yang menjadi memori kepribadian sesorang. Tampak anggun dalam jajaran penyampaian kata aktif. Cinta dan kerinduan spiritual kasih sayang yang terdalam terlukis dalam perjalanan mengenang kekasih pujaan hati. Walaupun kikisan dalam syair percintaan menjadi berhenti dari topan kehidupan. Kesetian sebagai perlambang pisau tajam dalam genggaman qolbu tentu memberikan iringan  keseharian yang berat. Cobaan silih berganti memnembus tujuan hakiki.
Kenangan dalam kumpulan puisi Upacara Bakar Rambut menginspirasi mengabadikan kisah keseharian dalam tulisan. Walau tak menembus kritik sosial tapi sangat luar biasa dalam mengarungi kehidupan menjadi bahtera idealisme dan keyakinan. Hidup dalam pengabdian terasa sangar sulit berawal dari keseharian dan pristiwa kecil tentu menjadi refleksi tersendiri.
Saya kira untaiaan ini penuh gelimangan makna individualistik yang menyemaikan kehidupan pribadi dalam percakapan diri. Sahutan ini seperti menawarkan pilihan-pilihan dan menjadi kesempatan penting di antara jutaan kesempatan. Perkara memilih terkadang sulit di terka dalam kehidupan. Karena pilihan dalam hidup berjalan dan mengalir sangat halus dalam nadi manusia.
Sekali menentukan akan menjadi jawaban takdir yang tak terelakkan.  Pada Hari Merawat Kuku ekspresi ini sangat bagus, penggambaran ksih ibu yang terus bergerak salah satu puisi yang sangat saya suka dalam sekian puisi. Terbayangkan oleh ku, disetiap detik akan ada selalu cinta dan kasih ibu, persembahan itu pantas untuk ayah dan ibu. Butiran apapun tidak akan mampu mengotori semaian dalam diri manusia tentang ibu. Walaup ekspresi yang terkadang terkesan ambigu dan egois.
Tak ada kata yang mampu mewakili kisah terdalam kecuali bait-bait puisi. Pad akhirnya menjadi Senja. Begtiu!