/1/
Bulan Memerah: sebuah rumah, cahaya terlihat memancar
dari dalamnya. Ada sebuah pohon rindang, danau atau telaga atau pantai(?), air,
gemintang, rangkaian huruf tersusun jadi “Abednego Afriadi” dan bulan dan bayangannya yang kemerah-merahan
terpantul dilukisan air. Judul buku sekaligus judul salah satu cerpen dalam
kumpulan cerpen Bulan Memerah karya Abed (Abednego Afriadi), sepertinya
dicitrakan (dijelaskan?) di
sampul kumpulan cerpen tersebut. Sekali melihat sampul, sekali melihat judul:
sebuah imajinasi menghubungkan gambar, isi dan judul. Relasi diciptakan dan menjelaskan dari kata-kata ke gambar, dan sebaliknya.
Sejurus kemudian mencari daftar isi, dan menemukan Bulan Memerah. Kisah
mengharukan, menimbulkan ketegangan seperti sengatan listrik berkekuatan
rendah: kematian, penasaran,
kebersalahan, kegilaan, kesedihan. Begitu tahap demi tahap ketegangan
diciptakan oleh Abed, dipuncak ceritanya sengatan itu terasa. Lumyan mengejutkan.
Bagi
saya, yang sering berjumpa Abed dalam cerkak (cerita cekak, cerpen bahasa
Jawa), lebih dapat merasakan aliran kekuatannya dalam bahasa Jawa. Dalam kumpulan cerpen berbahasa Indonesia ini saya merasa
sedikit asing. Tapi rasa asing itu kadangkala terobati saat kata-kata bahasa
Jawa untuk menyebut beberapa benda atau sesuatu dituliskan dalam bahasa Jawa.
Dan beberapa diantaranya diberi catatan kaki.
Catatan kaki dicantumkan memberi penjelasan tambahan
berupa keterangan arti. Beberaa kata-kata bahasa Jawa digunakan untuk makanan,
suatu benda atau suasana. Dalam cerpen Tenongan,
ada dua belas catatan kaki. Mata
Penambang Pasir, dua catatan kaki. Kubur
Kosong tiga catatan kaki. Semuanya berjumlah tujuh belas catatan kaki.
Catatan kaki itu memberikan tambahan informasi pada pembaca yang tak tahu
bahasa Jawa. Bulan Memerah akan
memberikan kemungkinan mempermudah pembaca yang tak tahu bahasa Jawa.
Ada pertaruhan (pertarungan ?) bahasa dalam cerpen-cerpen
Abed. Kata-kata berbahasa Jawa juga tidak semua diberi catatan kaki. Mungkin,
kebiasaan Abed dalam menulis cerpen dalam bahasa Jawa turut memberi pengaruh
saat menulis dengan bahasa Indonesia. Istilah-istilah Jawa meluruh dalam cerita
Abed. Tertulis miring dan diberi pangkat angka seperti catatan kaki dalam
buku-buku non-fiksi. Atau seperti melihat kembali soal-soal dalam pelajaran
ilmu pasti.
Tenongan, kompia,
semar mendem, klepon, serabi, macan angop, singup dan lainnya yang
diberi catatan kaki, diberi penjelasan secara singkat. Meski saya sendiri juga
masih mengernyitkan dahi untuk istilah moho
yang tak diberi catatan kaki. Atau catatan kaki untuk serabi dan klepon yang
diberi penjelasan “makanan khas Solo”. Beberapa daerah di Jawa, bahkan Madura, klepon sudah ada sejak dulu. Dan Serabi? Ada yang bilang tanah lahirnya
di Sunda, tapi dalam catatan kaki di cerpen Abed dituliskan makanan khas Solo.
Satu catatan kaki yang mengabarkan kepada pembaca sampai hampir mencapai tiga
baris adalah “ACI”, acara TVRI yang pernah populer di zaman dahulu.
Ke-khas-an kuliner dan keterangan catatan kaki dalam sastra
sudah sering kita jumpai. Tapi kita jarang mendapati penjelasan di catatan kaki
secara panjang lebar. Cerpen di hari ahad, di koran-koran, kadangkala juga ada
yang menggunakan catatan kaki. Disana juga tak diberi penjelasan berlimpah. Sebab,
jika memberi penjelasan dengan berlimpah, tentunya penulis akan lebih untung
jika memasukkan dalam ceritanya langsung tanpa catatan kaki. Akan ada deskripsi
kuliner dalam tubuh cerita yang tak memerlukan catatan kaki. Penulis fiksi bisa
jadi ahli kuliner dengan memberikan dan meluruskan dimana tanah air
makanan-makanan yang di Jawa sering dimasukkan dalam sebutan Jajanan Pasar itu.
Tapi, memang hampir selalu, dalam novel, cerpen, atau
bahkan puisi, catatan kaki itu ada. Catatan kaki ada dalam karya sastra Indonesia.
Tapi catatan kaki sering hanya sepenggal informasi tak komplet dengan
penjelasan yang mungkin masih bisa diragukan “jelasnya”.
Ada pula yang berpikiran bahwa kata-kata atau istilah
kedaerahan jangan dimasukkan dalam sebuah karya, karena itu hanya terlihat
seakan untuk ‘invasi’ bahasa dan budaya kepada pembaca di luar etnis. Sebab itu
pernah ada saran untuk menjadikan selipan istilah bahasa daerah agar langsung
di Indonesiakan saja. Tapi, bahasa daerah sering pula memiliki istilah yang
memuat makna mendalam dan bahasa Indonesia tak memiliki kata sepadan dengan
istilah-istilah kedaerahan itu. Juga, kadang-kadang bahasa daerah membawa rasa ketika dituliskan dan saat
dituliskan dalam bahasa Indonesia, rasa itu
hilang.
Dari semua catatan kaki, sebagian besar berisi penjelasan
untuk istilah bahasa Jawa. Dalam kumpulan cerpen Bulan Memerah, diksi-diksi pilihan Abed tak hanya banyak selipan
bahasa/istilah Jawa tapi juga Inggris. Ada hambuger
dan CT Scan, istilah asing tanpa
catatan kaki. Bodyguard, public figure,
of course, sound system, over lap, super market, make-up, show dan lainnya.
Mungkin orang Indonesia memang lebih bisa dengan mudah mencari penjelasan
istilah asing itu daripada bahasa daerah tetangganya yang senegara. Atau
mungkin istilah asing itu sudah turut meluruh dalam nalar bahasa masyarakat
Indonesia? Barangkali, bisa jadi begitu.
Penulis adalah
santri Bilik Literasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar