Kamis, 27 Februari 2014

(Buku Bicara) Bulan Memerah: Sastra dan Catatan Kaki, oleh Priyadi



/1/
Bulan Memerah: sebuah rumah, cahaya terlihat memancar dari dalamnya. Ada sebuah pohon rindang, danau atau telaga atau pantai(?), air, gemintang, rangkaian huruf tersusun jadi “Abednego Afriadi” dan  bulan dan bayangannya yang kemerah-merahan terpantul dilukisan air. Judul buku sekaligus judul salah satu cerpen dalam kumpulan cerpen Bulan Memerah karya Abed (Abednego Afriadi), sepertinya dicitrakan (dijelaskan?) di sampul kumpulan cerpen tersebut. Sekali melihat sampul, sekali melihat judul: sebuah imajinasi menghubungkan gambar, isi dan judul. Relasi diciptakan dan menjelaskan dari kata-kata ke gambar, dan sebaliknya. Sejurus kemudian mencari daftar isi, dan menemukan Bulan Memerah. Kisah mengharukan, menimbulkan ketegangan seperti sengatan listrik berkekuatan rendah: kematian, penasaran, kebersalahan, kegilaan, kesedihan. Begitu tahap demi tahap ketegangan diciptakan oleh Abed, dipuncak ceritanya sengatan itu terasa. Lumyan mengejutkan.
Bagi saya, yang sering berjumpa Abed dalam cerkak (cerita cekak, cerpen bahasa Jawa), lebih dapat merasakan aliran kekuatannya dalam bahasa Jawa. Dalam kumpulan cerpen berbahasa Indonesia ini saya merasa sedikit asing. Tapi rasa asing itu kadangkala terobati saat kata-kata bahasa Jawa untuk menyebut beberapa benda atau sesuatu dituliskan dalam bahasa Jawa. Dan beberapa diantaranya diberi catatan kaki.
Catatan kaki dicantumkan memberi penjelasan tambahan berupa keterangan arti. Beberaa kata-kata bahasa Jawa digunakan untuk makanan, suatu benda atau suasana. Dalam cerpen Tenongan, ada dua belas catatan kaki. Mata Penambang Pasir, dua catatan kaki. Kubur Kosong tiga catatan kaki. Semuanya berjumlah tujuh belas catatan kaki. Catatan kaki itu memberikan tambahan informasi pada pembaca yang tak tahu bahasa Jawa. Bulan Memerah akan memberikan kemungkinan mempermudah pembaca yang tak tahu bahasa Jawa.
Ada pertaruhan (pertarungan ?) bahasa dalam cerpen-cerpen Abed. Kata-kata berbahasa Jawa juga tidak semua diberi catatan kaki. Mungkin, kebiasaan Abed dalam menulis cerpen dalam bahasa Jawa turut memberi pengaruh saat menulis dengan bahasa Indonesia. Istilah-istilah Jawa meluruh dalam cerita Abed. Tertulis miring dan diberi pangkat angka seperti catatan kaki dalam buku-buku non-fiksi. Atau seperti melihat kembali soal-soal dalam pelajaran ilmu pasti.
Tenongan, kompia, semar mendem, klepon, serabi, macan angop, singup dan lainnya yang diberi catatan kaki, diberi penjelasan secara singkat. Meski saya sendiri juga masih mengernyitkan dahi untuk istilah moho yang tak diberi catatan kaki. Atau catatan kaki untuk serabi dan klepon yang diberi penjelasan “makanan khas Solo”. Beberapa daerah di Jawa, bahkan Madura, klepon sudah ada sejak dulu. Dan Serabi? Ada yang bilang tanah lahirnya di Sunda, tapi dalam catatan kaki di cerpen Abed dituliskan makanan khas Solo. Satu catatan kaki yang mengabarkan kepada pembaca sampai hampir mencapai tiga baris adalah “ACI”, acara TVRI yang pernah populer di zaman dahulu.
Ke-khas-an kuliner dan keterangan catatan kaki dalam sastra sudah sering kita jumpai. Tapi kita jarang mendapati penjelasan di catatan kaki secara panjang lebar. Cerpen di hari ahad, di koran-koran, kadangkala juga ada yang menggunakan catatan kaki. Disana juga tak diberi penjelasan berlimpah. Sebab, jika memberi penjelasan dengan berlimpah, tentunya penulis akan lebih untung jika memasukkan dalam ceritanya langsung tanpa catatan kaki. Akan ada deskripsi kuliner dalam tubuh cerita yang tak memerlukan catatan kaki. Penulis fiksi bisa jadi ahli kuliner dengan memberikan dan meluruskan dimana tanah air makanan-makanan yang di Jawa sering dimasukkan dalam sebutan Jajanan Pasar itu.
Tapi, memang hampir selalu, dalam novel, cerpen, atau bahkan puisi, catatan kaki itu ada. Catatan kaki ada dalam karya sastra Indonesia. Tapi catatan kaki sering hanya sepenggal informasi tak komplet dengan penjelasan yang mungkin masih bisa diragukan “jelasnya”.
Ada pula yang berpikiran bahwa kata-kata atau istilah kedaerahan jangan dimasukkan dalam sebuah karya, karena itu hanya terlihat seakan untuk ‘invasi’ bahasa dan budaya kepada pembaca di luar etnis. Sebab itu pernah ada saran untuk menjadikan selipan istilah bahasa daerah agar langsung di Indonesiakan saja. Tapi, bahasa daerah sering pula memiliki istilah yang memuat makna mendalam dan bahasa Indonesia tak memiliki kata sepadan dengan istilah-istilah kedaerahan itu. Juga, kadang-kadang bahasa daerah membawa rasa ketika dituliskan dan saat dituliskan dalam bahasa Indonesia, rasa itu hilang.
Dari semua catatan kaki, sebagian besar berisi penjelasan untuk istilah bahasa Jawa. Dalam kumpulan cerpen Bulan Memerah, diksi-diksi pilihan Abed tak hanya banyak selipan bahasa/istilah Jawa tapi juga Inggris. Ada hambuger dan CT Scan, istilah asing tanpa catatan kaki. Bodyguard, public figure, of course, sound system, over lap, super market, make-up, show dan lainnya. Mungkin orang Indonesia memang lebih bisa dengan mudah mencari penjelasan istilah asing itu daripada bahasa daerah tetangganya yang senegara. Atau mungkin istilah asing itu sudah turut meluruh dalam nalar bahasa masyarakat Indonesia? Barangkali, bisa jadi begitu.


Penulis adalah santri Bilik Literasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar