"Banyak
yang berkhayal, namun sedikit saja yang dapat mewujudkanya".
Kalimat tersebut boleh jadi kalimat motivator ampuh dari tingkat amatiran
hingga profesional sekalipun. Namun
selalu ada pilihan lain untuk menerawang khayalan tersebut baik dengan
bercerita, bertarung, bermunajat hingga bersetubuh dengan khayalan tersebut
sehingga peranya tak jadi cameo dan komoditas jua, namun hadir sebagai peran
protagonis ataupun antagonis dalam setiap lakon
dimana sang pencipta khayalan tersebut berkehendak. Hal ini jua yang
bisa kita baca dari novel " Bulan memerah " ,
yang merupakan kumpulan cerpen karya Abednego afriadi. Dalam kumpulan cerpen yang
sempat hilir mudik di beberapa media massa tersebut, penulis hendak
mengaburkan, meniadakan batas batas atau bisa saja membangunkan ruang nakal
imajinasi kita yang kian hari kian junub akibat ikhtiar rating acara belaka. Khayalan yang hendak dioperakan pun bukan
membuat nalar tersiksa kesulitan mengidentifikasi kehendak penulisan, khayalan
tersebut memang ada disekeliling kita namun konstruksi sosial masyarakat kini
hendak melupakan khayalan itu dimana hal tersebut tersurat di kolom testimoni novel " Bulan memerah " ini.
Beberapa
kisah cerpen termuat sarat dengan kehidupan dan keseharian kita seperti cerpen
tenongan, nuh dan kidung liturgi, dan bendera berkibar di tiang rapuh. Ketika
membaca cerpen tenongan, yakni problematika klasik keluarga yang harus meninggalkan
rumah dimana terkisah jadi pengisah bagi lelakon keluarga ini. Kenangan akan
keramahan keluarga juga pilu sendau guraunya hidup keluarga ini dikemas oleh
pengingatan peristiwa yang sudah lumrah kita lakoni sehari-hari yakni membeli
jajanan dan penjaja tenongan dengan suaranya yang khas. Ada pula cerpen bendera
berkibar di tiang yang rapuh, bermula dari ikhtiar klasik bahkan melegenda
mengenai pemasaran ilmu pengetahuan sebatas lewat bangku sekolah, celakanya
ikthiar transfer keilmuan ini juga dipoles dengan rasa nasionalisme dan
kapitalisme pendidikan. Bermula dengan penurunan bendera merah putih oleh warga
sekitar, pihak sekolah yang merasa jadi kiblatnya pendidikan masa kini dan lalu
memaknai hal tersebut sebgai ungkapan duka cita. Ego itu terus memberangus tanpa
sabda dan sapa, kepada para pelaku penurunan itu dicap kurang menjadi "Indonesia"-is
tatkala menurunkan bendera bukan pada ranah wilayah dan waktunya. Membumbungnya
ego tersebut dihempaskan menjadi diam bisu tatkala upaya penurunan bendera
terjadi lagi, dibarengi dengan teman-temanya dengan membawa beberapa lonjor penyangga pertanda bahwa mereka tidak
turut melainkan jadi satu bagian dengan sang saka merah putih, kala deritanya
bendera juga duka bagi mereka. Pun sebaliknya, melambung tingginya bendera tersebut
semakin men-konsisten-kan bangga dan hormat mereka pada Indonesia.
Beberapa
loncatan kata, khayalan imajinasi sempat dilakukan penulis di beberapa cerpen
lainya untuk menghindari kejenuhan mengenai alam sekitar namun loncatan
tersebut bukanlah untuk meretas alam khayalan, namun khayalan tersebut
tersajikan oleh penulis menulis lewat kejadian maupun benda yang akrab dengan
rutinitas insan seperti kereta api(kereta
terkahir, bulan memerah, dan gadis-gadis cahaya), hutan (mata penambang pasir), sawah( jendela kesunyian) dan ornamen lainya.
Ornamen kereta misalnya, dalam pengisahanya selalu menimbulkan kisruh baik di
tingkatan nyata maupun khayalan bagi tokoh tokoh yang terlibat dalam cerpen
tersebut. Seperti dalam cerpen kereta
terakhir, yang mengambil setting di sebuah gerbong kereta jurusan Solo jogja, beranjak dari pertemuan
dua manusia di gerbong tersebut kala kereta merayap dari Jogja menuju ke Solo.
Perjumpaan dua insan yang sempat jatuh dalam cinta terlarang tersebut, pada
awalnya pada harapanya akan memantik memori kenangan di waktu sebelum pertemuan
itu terjadi, namun sirna tatkala si wanita lebih memilih menutup rapat kenangan
tersebut dan lebih memilih hidup yang baru. Gadis-gadis
cahaya juga mengangkat tema pertemuan di kereta api, kali ini seorang insan
yang dalam perjalananya pulang bertemu dengan mahluk yang berkomposisi cahaya
terang dan berwujud gadis kecil. Pertemauan itu diawali dari ketidak tahuan
insan manusia tersebut, dibarengi dengan pemberian cahaya padanya dan klimaks
tatkala banyak insan berebut cahaya tersebut.
Pengisahan
tentang kereta tersebut yang banyak dalam kisah cerita maupun layar kaca
diibaratkan sebagai etikad perjuampaan ataupun juga perpisahan sendu di stasiun
kala senja, diubah menjadi di gerbong dan di kursi kursi di dalamnya kisah itu
bermula dan akan selesai juga di ujung perjalanan kereta tersebut. Di beberapa
pengishan lainya juga menggunakan unsur di keseharian kita yakni hutan dan
sungai. Di cerpen mata penambang pasir dan cerpen garong, penulis hendak meluapkan gelora kisahnya kala menjadi
anak-anak, tempat seperti hutan kecil dan sungai dan bantaranya tenu menjadi
obyek permainan favorit tatakala waktu dulu. Di cerpen, pengisahan tentang
hutan di mana di bagian pembukaan berkisah mengenai kenangan masa kecil
itu merefleksi tokoh di masa depan
dengan mitos mengenai adanya penunggu di pula hutan kecil tersebut, dimana ia
mengira sahabtnya yang sudah tidak jelas
keberadaanya semenjak ia pindah. Di kisah garong, di mana menceritakan hal kini dan pemnatik kenangan masa
lalu dijembatanani ingatan tentang sungai dimana di antara dua tokoh yang
bertikai ini memang tidak bisa yang berenang sma sekali di penghujung cerpen
tersebut. Pun ada yang memang menggunkan khayalan penuh dalam pengisahanya,
terlepas hal yang menginsipirasinya beral dari kenyataan. Kisah tersebut di
cerpen Gerombolan pengusir, diaman
mendongengkan cerita terusirnya sebuah kaum dari tanahnya sendiri oleh tangan
tangan keserakahan dan kekuasaan. Kisah kisah dalam cerpen tersebut terangkum
dalam kumpulan cerpen " Bulan memerah ", sebuah renungan ataupun
pemantik memori bisa saja pengguga
khayalan para pembacanya. Saya teringat ketika di pelbagai media maya
menyajikan informasi mengenai fenomena "
super moon" di beberapa tempat di
dunia, namun sayang fenomena tersebut tidak hadir di sekitar kita,
kehadiran " Bulan memerah "
bisa saja jadi penawar ingatan mengenai super moon tersebut atau bisa saja
pencipta memori lainya dalam peristiwa kseharian kita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar