Senin, 24 Februari 2014

(Buku Bicara) Bulan Memerah: Lantahnya Khayal, Gelora dan Asa, oleh Wijayanto Puji



"Banyak yang berkhayal, namun sedikit saja yang dapat mewujudkanya". Kalimat tersebut boleh jadi kalimat motivator ampuh dari tingkat amatiran hingga profesional sekalipun.  Namun selalu ada pilihan lain untuk menerawang khayalan tersebut baik dengan bercerita, bertarung, bermunajat hingga bersetubuh dengan khayalan tersebut sehingga peranya tak jadi cameo dan komoditas jua, namun hadir sebagai peran protagonis ataupun antagonis dalam setiap lakon  dimana sang pencipta khayalan tersebut berkehendak. Hal ini jua yang bisa kita  baca dari  novel " Bulan memerah " , yang merupakan kumpulan  cerpen karya  Abednego afriadi. Dalam kumpulan cerpen yang sempat hilir mudik di beberapa media massa tersebut, penulis hendak mengaburkan, meniadakan batas batas atau bisa saja membangunkan ruang nakal imajinasi kita yang kian hari kian junub akibat ikhtiar rating acara belaka.  Khayalan yang hendak dioperakan pun bukan membuat nalar tersiksa kesulitan mengidentifikasi kehendak penulisan, khayalan tersebut memang ada disekeliling kita namun konstruksi sosial masyarakat kini hendak melupakan khayalan itu dimana hal tersebut tersurat  di kolom testimoni novel  " Bulan memerah " ini.
Beberapa kisah cerpen termuat sarat dengan kehidupan dan keseharian kita seperti cerpen tenongan, nuh dan kidung liturgi, dan bendera berkibar di tiang rapuh. Ketika membaca cerpen tenongan, yakni problematika klasik keluarga yang harus meninggalkan rumah dimana terkisah jadi pengisah bagi lelakon keluarga ini. Kenangan akan keramahan keluarga juga pilu sendau guraunya hidup keluarga ini dikemas oleh pengingatan peristiwa yang sudah lumrah kita lakoni sehari-hari yakni membeli jajanan dan penjaja tenongan dengan suaranya yang khas. Ada pula cerpen bendera berkibar di tiang yang rapuh, bermula dari ikhtiar klasik bahkan melegenda mengenai pemasaran ilmu pengetahuan sebatas lewat bangku sekolah, celakanya ikthiar transfer keilmuan ini juga dipoles dengan rasa nasionalisme dan kapitalisme pendidikan. Bermula dengan penurunan bendera merah putih oleh warga sekitar, pihak sekolah yang merasa jadi kiblatnya pendidikan masa kini dan lalu memaknai hal tersebut sebgai ungkapan duka cita. Ego itu terus memberangus tanpa sabda dan sapa, kepada para pelaku penurunan itu dicap kurang menjadi "Indonesia"-is tatkala menurunkan bendera bukan pada ranah wilayah dan waktunya. Membumbungnya ego tersebut dihempaskan menjadi diam bisu tatkala upaya penurunan bendera terjadi lagi, dibarengi dengan teman-temanya dengan membawa beberapa  lonjor penyangga pertanda bahwa mereka tidak turut melainkan jadi satu bagian dengan sang saka merah putih, kala deritanya bendera juga duka bagi mereka. Pun sebaliknya, melambung tingginya bendera tersebut semakin men-konsisten-kan bangga dan hormat mereka pada Indonesia.
Beberapa loncatan kata, khayalan imajinasi sempat dilakukan penulis di beberapa cerpen lainya untuk menghindari kejenuhan mengenai alam sekitar namun loncatan tersebut bukanlah untuk meretas alam khayalan, namun khayalan tersebut tersajikan oleh penulis menulis lewat kejadian maupun benda yang akrab dengan rutinitas insan seperti kereta api(kereta terkahir, bulan memerah, dan gadis-gadis cahaya), hutan (mata penambang pasir), sawah( jendela kesunyian) dan ornamen lainya. Ornamen kereta misalnya, dalam pengisahanya selalu menimbulkan kisruh baik di tingkatan nyata maupun khayalan bagi tokoh tokoh yang terlibat dalam cerpen tersebut. Seperti dalam cerpen kereta terakhir, yang mengambil setting di sebuah gerbong kereta  jurusan Solo jogja, beranjak dari pertemuan dua manusia di gerbong tersebut kala kereta merayap dari Jogja menuju ke Solo. Perjumpaan dua insan yang sempat jatuh dalam cinta terlarang tersebut, pada awalnya pada harapanya akan memantik memori kenangan di waktu sebelum pertemuan itu terjadi, namun sirna tatkala si wanita lebih memilih menutup rapat kenangan tersebut dan lebih memilih hidup yang baru. Gadis-gadis cahaya juga mengangkat tema pertemuan di kereta api, kali ini seorang insan yang dalam perjalananya pulang bertemu dengan mahluk yang berkomposisi cahaya terang dan berwujud gadis kecil. Pertemauan itu diawali dari ketidak tahuan insan manusia tersebut, dibarengi dengan pemberian cahaya padanya dan klimaks tatkala banyak insan berebut cahaya tersebut.
Pengisahan tentang kereta tersebut yang banyak dalam kisah cerita maupun layar kaca diibaratkan sebagai etikad perjuampaan ataupun juga perpisahan sendu di stasiun kala senja, diubah menjadi di gerbong dan di kursi kursi di dalamnya kisah itu bermula dan akan selesai juga di ujung perjalanan kereta tersebut. Di beberapa pengishan lainya juga menggunakan unsur di keseharian kita yakni hutan dan sungai. Di cerpen mata penambang pasir  dan cerpen garong, penulis hendak meluapkan gelora kisahnya kala menjadi anak-anak, tempat seperti hutan kecil dan sungai dan bantaranya tenu menjadi obyek permainan favorit tatakala waktu dulu. Di cerpen, pengisahan tentang hutan di mana di bagian pembukaan berkisah mengenai kenangan masa kecil itu  merefleksi tokoh di masa depan dengan mitos mengenai adanya penunggu di pula hutan kecil tersebut, dimana ia mengira sahabtnya yang sudah tidak jelas  keberadaanya semenjak ia pindah. Di kisah garong, di mana menceritakan hal kini dan pemnatik kenangan masa lalu dijembatanani ingatan tentang sungai dimana di antara dua tokoh yang bertikai ini memang tidak bisa yang berenang sma sekali di penghujung cerpen tersebut. Pun ada yang memang menggunkan khayalan penuh dalam pengisahanya, terlepas hal yang menginsipirasinya beral dari kenyataan. Kisah tersebut di cerpen Gerombolan pengusir, diaman mendongengkan cerita terusirnya sebuah kaum dari tanahnya sendiri oleh tangan tangan keserakahan dan kekuasaan. Kisah kisah dalam cerpen tersebut terangkum dalam kumpulan cerpen " Bulan memerah ", sebuah renungan ataupun pemantik memori  bisa saja pengguga khayalan para pembacanya. Saya teringat ketika di pelbagai media maya menyajikan informasi mengenai  fenomena " super moon"  di beberapa tempat di dunia, namun sayang fenomena tersebut tidak hadir di sekitar kita, kehadiran  " Bulan memerah " bisa  saja jadi penawar ingatan mengenai super moon tersebut atau bisa saja pencipta memori lainya dalam peristiwa kseharian kita masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar