Kamis, 27 Februari 2014

(Buku Bicara) Dada yang Terbelah: ‘Aliran Darah’ dalam Dada Yang Terbelah, oleh Budiawan Dwi Santoso



“-sebab kata-kata telah memiliki aliran darahnya lagi hingga ia terucap seperti keberanian mengecup mata-“


Sebagai pembaca yang hidup dalam budaya lisan sekunder—yang menurut Walter J. Ong adalah budaya teknologi tinggi masa kini, di dalamnya suatu kelisanan baru disokong oleh telepon, radio, televisi, dan alat elektronik lain yang keberadaan dan fungsinya tergantung pada tulisan dan cetakan, maka respon pembaca pertama kali terhadap benda [dalam hal ini, buku kumpulan puisi Dada Yang Terbelah] adalah yang berhubungan visual. Dan, memang dalam budaya lisan sekunder, pembaca/kita sudah terkunci dalam medan visual.

Sampul depan dalam buku puisi Dada Yang Terbelah [2013] garapan Ratna Ayu Budhiarti [RAB], yakni gambar separuh tubuh telanjang dengan buah dada yang nampak, bagi sebagian besar pembaca, yang pertama kali muncul dalam pikiran atau yang terlisankan akan mengecap [mengatai] langsung bahwa buku tersebut seronok ataupun porno. Pandangan yang terlontarkan oleh penonton buku, terutama pada buku RAB itu, bagi sebagian masyarakat pembaca yang lain bisa menganggapnya pandangan kolot, naif, dan instrumentalistik.

Tentunya, kita tak bisa melihat atau membaca sepintas. Sebab, keseluruhan di sampul depan itu, kepalanya tergambarkan dengan sebuah tanaman yang berbunga. Bagi pembaca semiotik atau perancang sampul, gambaran tersebut menjadi representasi ataupun resistensi isi buku puisi. Jika merunut gagasan Koskow (2009), sampul, termasuk ilustrasi isi buku bisa menjadi sehimpunan gagasan, media pengungkap isi buku, ataupun ruang simbolik, ruang yang berusaha mengatakan tentang sesuatu melalui bahasa kiasan (metafora). Dan, di sisi lain, sampul depan RAB itu mengajak pembaca terpantik oleh simbol-simbol dari pendesain sampul untuk bertransaksi makna.

Sepintas, gambar separuh tubuh telanjang dengan buah dada merupakan representasi puisi-puisi RAB yang kerap menggunakan kata kunci ‘dada’. Dan gambar tanaman berbunga pengganti kepala seorang perempuan lebih mengesankan pada pemikiran/pandangan yang puitis [entah itu, yang indah, menarik, ataupun menyedihkan]. Dari sampul depan itu pula, mengisyaratkan pada pembaca pada ketelanjangan puisi-puisi RAB—dimana, sesuatu yang lisan lebih telanjang bahasanya dari pengungkapan bahasa tertulis.

Untuk hal itu, telah dipaparkan oleh Afrizal Malna: “bahasa lisan muncul seperti memberi gerak dan ruang baru ke dalam bahasa tulisan”; dan pengungkapan dari Acep Zamzam Noor, begini: “Caranya bercerita [berpuisi] pun santai, riang dan apa adanya, dengan memakai bahasa pergaulan yang akrab. Ratna sering memadukan unsur narasi, dialog, celoteh serta gumam dengan menampilkan simbol maupun metafor yang berasal dari kesehariannya....”

Lebih jelasnya, saya merasa kekuatan puisi-puisi RAB terletak pada unsur-unsur lisannya: adanya keterbukaan, performa verbal yang kuat, dan kata-kata lebih kental merujuk pada kejadian, peristiwa. Beberapa contohnya, puisi berjudul Rumah tangga Penulis dan Fotografer, Tamu Asing, Di Kafe Virleta, Pasar Badung Suatu Petang, dan D/Cerita Wanita Karier Setelah Melepas Lajang, yang saya nukilkan berikut ini.

dulu, dulu sekali-
setiap habis gajian, indahnya masa muda benar-benar
kunikmati, lho!
akhir pekan sudah dipastikan mencuci otakku
dari jenuh rutinitas kantor dan setumpuk beban kerja:
hahahihi sama teman nongkrong di kafe, atau sekadar
shopping
yaaah... kadang-kadang clubbing dikit juga lah!
meski ga sambil neken dan tripping
tapi sumpah, hidupku gak garing!

Dari puisi itulah, kenapa Afrizal merasa terkesan terhadap puisi-puisinya RAB yang ‘seperti planet baru dalam puisinya’, juga dipenuhi ‘kode-kode ruang komputer maupun ruang internet hidup’, seperti terbaca dalam sebait puisi Rumah tangga Penulis dan Fotografer: ‘kecuali kau makan porsi besar file foto dari hard disk-mu’; dan sebait puisi Tentang Otak yang harus Berputar Lagi dan Lagi, begini: ‘sebuah surat elektronik tentang royalti yang [akan]....’; ataupun penggunaan tanda bintang seperti ini: [*] atau huruf italic [huruf cetak miring].

Keberanian dan keterbukaan ekspresi [bahasa], yang tentu saja dalam realitas sosial kini lebih cenderung dapat kita ketahui lewat media massa—dalam hal ini media yang tercetak [pelbagai karya sastra masa ini] dan media sosial, seperti internet, facebook, twitter, group milling list, bukan suatu fenomena yang pertama kali kita jumpai. Pada masa Orde Baru, keberanian dan keterbukaan ekspresi [bahasa] diwujudkan oleh para penyair, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, Remy Sylado, ataupun Wiji Thukul. Hanya saja, puisi RAB berbeda dengan puisi mereka dikarenakan tekanan eksternal yang berbeda pula. Dimana, tekanan eksternal sekarang lebih cenderung ke hal-hal yang komersiil dan teknologis.

Maka, tak aneh apabila dalam puisi-puisi RAB ‘aliran darahnya’ membawa dan mengandung mental etos komersial, dimana penyairnya menemukan pentingnya pengetahuan tentang uang, pasar, dan pengetahuan berorientasi kepada hasil-hasil kongkret, praktis, dan efisiensi, sehingga hal ini pula menjadi kata kunci modernitas yang kini kita hadapi, seperti yang saya contohkan lewat puisi Rumah Tangga Penulis dan Fotografer berikut ini.

Rumah Tangga Penulis dan Fotografer

tak cukup puisi dan artikel untuk dimasak malam ini,
lembaran rupiah sudah menguap di magic jar dua
minggu lalu,
royalti buku cuma cukup bayar tagihan listrik bulan
kemarin,
kecuali kau mau makan porsi besar file foto dari hard
disk-mu,
atau menghabiskan penghargaan best shoot sebagai
lauknya

anak kita pasti teriak minta nasi dan susu!

2012

Yang tentunya, selain pemaparan itu semua, pembaca [tak hanya saya saja] tak harus mengesampingkan pentingnya segala yang tertulis dan tergambarkan dalam kata pengantar, profil penulis, dan etalase di halaman terakhir, yang kerap diabaikan.[]



Budiawan Dwi Santoso, alumnus Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah FKIP UMS






Tidak ada komentar:

Posting Komentar