“-sebab kata-kata telah
memiliki aliran darahnya lagi hingga ia terucap seperti keberanian mengecup
mata-“
Sebagai pembaca
yang hidup dalam budaya lisan sekunder—yang menurut Walter J. Ong adalah budaya
teknologi tinggi masa kini, di dalamnya suatu kelisanan baru disokong oleh
telepon, radio, televisi, dan alat elektronik lain yang keberadaan dan
fungsinya tergantung pada tulisan dan cetakan, maka respon pembaca pertama kali
terhadap benda [dalam hal ini, buku kumpulan puisi Dada Yang Terbelah] adalah yang berhubungan visual. Dan, memang
dalam budaya lisan sekunder, pembaca/kita sudah terkunci dalam medan visual.
Sampul depan
dalam buku puisi Dada Yang Terbelah
[2013] garapan Ratna Ayu Budhiarti [RAB], yakni gambar separuh tubuh telanjang
dengan buah dada yang nampak, bagi sebagian besar pembaca, yang pertama kali
muncul dalam pikiran atau yang terlisankan akan mengecap [mengatai] langsung
bahwa buku tersebut seronok ataupun porno. Pandangan yang terlontarkan oleh penonton
buku, terutama pada buku RAB itu, bagi sebagian masyarakat pembaca yang lain
bisa menganggapnya pandangan kolot, naif, dan instrumentalistik.
Tentunya, kita
tak bisa melihat atau membaca sepintas. Sebab, keseluruhan di sampul depan itu,
kepalanya tergambarkan dengan sebuah tanaman yang berbunga. Bagi pembaca
semiotik atau perancang sampul, gambaran tersebut menjadi representasi ataupun
resistensi isi buku puisi. Jika merunut gagasan Koskow (2009), sampul, termasuk
ilustrasi isi buku bisa menjadi sehimpunan gagasan, media pengungkap isi buku,
ataupun ruang simbolik, ruang yang berusaha mengatakan tentang sesuatu melalui
bahasa kiasan (metafora). Dan, di sisi lain, sampul depan RAB itu mengajak
pembaca terpantik oleh simbol-simbol dari pendesain sampul untuk bertransaksi
makna.
Sepintas, gambar
separuh tubuh telanjang dengan buah dada merupakan representasi puisi-puisi RAB
yang kerap menggunakan kata kunci ‘dada’. Dan gambar tanaman berbunga pengganti
kepala seorang perempuan lebih mengesankan pada pemikiran/pandangan yang puitis
[entah itu, yang indah, menarik, ataupun menyedihkan]. Dari sampul depan itu
pula, mengisyaratkan pada pembaca pada ketelanjangan puisi-puisi RAB—dimana,
sesuatu yang lisan lebih telanjang bahasanya dari pengungkapan bahasa tertulis.
Untuk hal itu,
telah dipaparkan oleh Afrizal Malna: “bahasa lisan muncul seperti memberi gerak
dan ruang baru ke dalam bahasa tulisan”; dan pengungkapan dari Acep Zamzam
Noor, begini: “Caranya bercerita [berpuisi] pun santai, riang dan apa adanya,
dengan memakai bahasa pergaulan yang akrab. Ratna sering memadukan unsur
narasi, dialog, celoteh serta gumam dengan menampilkan simbol maupun metafor
yang berasal dari kesehariannya....”
Lebih jelasnya,
saya merasa kekuatan puisi-puisi RAB terletak pada unsur-unsur lisannya: adanya
keterbukaan, performa verbal yang kuat, dan kata-kata lebih kental merujuk pada
kejadian, peristiwa. Beberapa contohnya, puisi berjudul Rumah tangga Penulis dan Fotografer, Tamu Asing, Di Kafe Virleta,
Pasar Badung Suatu Petang, dan D/Cerita Wanita Karier Setelah Melepas
Lajang, yang saya nukilkan berikut ini.
dulu, dulu sekali-
setiap habis gajian, indahnya masa muda benar-benar
kunikmati, lho!
akhir pekan sudah dipastikan mencuci otakku
dari jenuh rutinitas kantor dan setumpuk beban kerja:
hahahihi sama teman nongkrong di kafe, atau sekadar
shopping
yaaah... kadang-kadang clubbing
dikit juga lah!
meski ga sambil neken dan tripping
tapi sumpah, hidupku gak garing!
Dari puisi
itulah, kenapa Afrizal merasa terkesan terhadap puisi-puisinya RAB yang
‘seperti planet baru dalam puisinya’, juga dipenuhi ‘kode-kode ruang komputer
maupun ruang internet hidup’, seperti terbaca dalam sebait puisi Rumah tangga Penulis dan Fotografer:
‘kecuali kau makan porsi besar file
foto dari hard disk-mu’; dan sebait
puisi Tentang Otak yang harus Berputar
Lagi dan Lagi, begini: ‘sebuah surat elektronik tentang royalti yang
[akan]....’; ataupun penggunaan tanda bintang seperti ini: [*] atau huruf italic [huruf cetak miring].
Keberanian dan
keterbukaan ekspresi [bahasa], yang tentu saja dalam realitas sosial kini lebih
cenderung dapat kita ketahui lewat media massa—dalam hal ini media yang
tercetak [pelbagai karya sastra masa ini] dan media sosial, seperti internet, facebook, twitter, group milling list,
bukan suatu fenomena yang pertama kali kita jumpai. Pada masa Orde Baru,
keberanian dan keterbukaan ekspresi [bahasa] diwujudkan oleh para penyair,
seperti Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, Remy Sylado, ataupun Wiji
Thukul. Hanya saja, puisi RAB berbeda dengan puisi mereka dikarenakan tekanan
eksternal yang berbeda pula. Dimana, tekanan eksternal sekarang lebih cenderung
ke hal-hal yang komersiil dan teknologis.
Maka, tak aneh
apabila dalam puisi-puisi RAB ‘aliran darahnya’ membawa dan mengandung mental
etos komersial, dimana penyairnya menemukan pentingnya pengetahuan tentang
uang, pasar, dan pengetahuan berorientasi kepada hasil-hasil kongkret, praktis,
dan efisiensi, sehingga hal ini pula menjadi kata kunci modernitas yang kini
kita hadapi, seperti yang saya contohkan lewat puisi Rumah Tangga Penulis dan Fotografer berikut ini.
Rumah Tangga Penulis dan
Fotografer
tak cukup puisi dan artikel untuk dimasak malam ini,
lembaran rupiah sudah menguap di magic
jar dua
minggu lalu,
royalti buku cuma cukup bayar tagihan listrik bulan
kemarin,
kecuali kau mau makan porsi besar file
foto dari hard
disk-mu,
atau menghabiskan penghargaan best shoot sebagai
lauknya
anak kita pasti teriak minta nasi dan susu!
2012
Yang tentunya,
selain pemaparan itu semua, pembaca [tak hanya saya saja] tak harus
mengesampingkan pentingnya segala yang tertulis dan tergambarkan dalam kata
pengantar, profil penulis, dan etalase di halaman terakhir, yang kerap
diabaikan.[]
Budiawan
Dwi Santoso, alumnus Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah FKIP UMS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar