Minggu, 09 Maret 2014

Kota, Kata, Kita, oleh Bandung Mawardi di Sindo 9 Maret 2014



Solo telah berusia 269 tahun. Kota ini mulai menjadi acuan tema politik, sejak kemunculan tokoh bertubuh kurus: Joko Widodo. Solo dibentuk oleh Joko Widodo sebagai “kota panggung”, “kota karnaval”, “kota tontonan”. Pelbagai seni pertunjukan, karnaval, festival seni, tontonan kolosal di jalan sering diadakan demi mengisahkan Solo di mata publik. Agenda itu masih berlanjut sampai sekarang meski Joko Widodo sudah menjadi penguasa di Jakarta.
Selebrasi ulang tahun Solo menjadi dalil bagi pemerintah menggelar acara-acara demi pengesahan Solo sebagai kota moncer dalam urusan kultural, seni, investasi, pariwisata, industri-kreatif. Kegandrungan membuat pelbagai acara melibatkan ribuan orang di panggung, jalan, benteng, lapangan mengakibatkan pemerintah dan publik melupakan Solo sebagai pusat sastra di Nusantara, sejak ratusan tahun silam.
Di kelender kultural buatan pemerintah, acara sastra tak pernah tercantum. Pemerintah menganggap sastra tak memberi kontribusi bagi peradaban dan kemonceran kota. Sastra sebagai selebrasi kata dan makna hampir disepelekan. Semaian imajinasi melalui teks-teks sastra tradisional dan modern sulit diakui memberi jiwa kota, mempengaruhi arus pembentukan identitas manusia kota. Kebijakan pemerintah mengelola kota memang jarang “mengesahkan” sastra sebagai basis sejarah dan masa depan kota.
 Kita masih mendapat ingatan kecil dari agenda sederhana oleh kumpulan pengarang muda di Solo, menghimpun diri di Pawon Sastra. Mereka mengadakan Festival Sastra Solo, 22-23 Februari 2014. Ada dua acara berkaitan Solo meski tak berkaitan dengan selebrasi ulang tahun Solo. Pawon mengadakan diskusi bertema “Student Hidjo dan Marco Kartodikromo”, 22 Februari 2014. Siapa Marco Kartodikromo? Apakah makna novel Student Hidjo bagi Solo dan Indonesia?
Diskusi menghadirkan dua pembicara: Andreas Susanto (sejarawan) dan Muhidin M. Dahlan (esais). Mereka memberi ulasan sugestif dan impresif mengenai Solo, mengacu ke Marco Kartodikromo sebagai pengarang dan wartawan. Imajinasi Solo pun terungkap dengan ulasan novel berjudul Student Hidjo (1919) garapan Marco Kartodikromo. Publik perlahan insaf bahwa Solo awal abad XX termaktub dalam novel lawas.
Marco Kartodikromo adalah pengelola surat kabar Doenia Bergerak (2014), terbit di Solo. Surat kabar menjadi representasi geliat pers dan pergerakan politik. Kontribusi Marco Kartodikromo melalui Doenia Bergerak bisa dilacak dari peristiwa-peristiwa politik dan kultural di Solo. Seruan-seruan melawan feodalisme dan kolonialisme sering tersaji di Doenia Bergerak. Publik pun mendapat bacaan kritis saat mengalami “zaman bergerak”. Ingatan kita tentang Sarekat Islam, sengketa perdagangan-ekonomi, ambisi pendidikan modern, perlawanan atas dominasi raja-keraton bisa ditemukan dalam Doenia Bergerak. Seratus tahun silam, pers turut menentukan perubahan sosial, politik, kultural di Solo. Doenia Bergerak membuat Solo bergerak, meninggalkan masa suram menuju impian “kemadjoean”.
Student Hidjo berkisah tentang pendidikan modern, perubahan kota, pesona alat transportasi modern, sejarah pergerakan politik. Pembaca bisa mengimajinasikan Solo saat berubah di masa kolonialisme. Marco Kartodikromo mengisahkan impian menjadi manusia modern, situasi Sriwedari, kemonceran Sarekat Islam, birokrasi kolonial. Novel adalah rujukan imajinasi dan kesejarahan. Student Hidjo pun berarti dokumentasi dari kesejarahan Solo.
Selebrasi mengenang dan mengimajinasikan Solo bersambung dalam acara peluncuran buku berjudul Solo dalam Puisi (2014). Buku Solo dalam Puisi adalah persembahan para pujangga untuk mendokumentasikan Solo, dari masa ke masa. Ada 85 pujangga dan 101 puisi, berkisah tentang segala hal di Solo. Mengenang Solo bisa dilakukan dengan membaca puisi-puisi lawas gubahan Sutan Takdir Alisjahbana, Rendra, Hartojo Andangdjaja, Wiji Thukul. Mereka menulis Solo dengan kata-kata bergelimang imajinasi dan kesejarahan. Sutan Takdir Alisjahbana mengenang pohon beringin. Rendra dan Wiji Thukul mengenang Sriwedari. Hartojo Andandjaja menulis tentang rasa cinta dan rindu bagi Solo. Puisi para pujangga lawas diimbuhi dengan puluhan puisi dari para pujangga mutakhir, berasal dari Solo dan pelbagai kota di Indonesia.
Hartojo Andangdjaja dalam puisi berjudul Salam Terakhir (1973) mengisahkan:   Kau bagiku, kota yang melambai dalam rinduku/ lebih dari seorang kekasih, seorang ibu/rinduku kepadamu/ ialah rindu yang dihidupkan kenangan masa kanakku. Bait impresif, mengartikan Solo dengan luapan cinta dan rindu tak tertahan. Solo menjadi kota bergelimang imajinasi, bertaburan kata.
Festival Sastra Solo 2014 adalah hajatan kecil, mengingatkan kita tentang Solo sebagai kota sastra, sejak ratusan tahun silam. Sejarah Solo, sejarah sastra. Ingatan kita bakal mengarah ke Jasadipura II, Paku Buwana IV, Mangkunegara IV, Ranggawarsita, Padmasusastra. Ingatan untuk sastra mutakhir juga menjelaskan peran para pengisah Solo melalaui puisi, novel, cerpen, drama. Kita mengenang pengarang-pengarang era modern: Jasawidagdo, Muhamad Dimjati, Arti Purbarini, Kho Ping Hoo. Mereka turut menulis tentang Solo.
Kota mesti memuat kata dan kita. Pengharapan ini sindiran bagi gejala menjadikan kota adalah “kota panggung”, “kota karnaval”, “kota tontonan”. Kota bersastra adalah kota bergelimang imajinasi, memberi rangsangan bagi publik mengisahkan dan memaknai kota dengan kata-kata, dari masa ke masa. Begitu.     

 Dimuat di Koran Sindo, 9 Maret 2014

Marco Kartodikromo dan Imajinasi Berapi, oleh Bandung Mawardi di Jawa Pos 2 Maret 2014


Pengarang bisa dilupakan! Novel bisa disepelekan! Dua kalimat bertanda seru pantas diajukan saat kita meributkan para tokoh sastra berpengaruh di Indonesia. Ingat, sejak puluhan tahun silam, ada nama “disingkirkan” dari buku-buku resmi sejarah sastra di Indonesia: Marco Kartodikromo. Kita sulit menemukan Marco Kartodikromo dalam soal-soal ujian sekolah atau materi perkuliahan. Marco Kartodikromo pun jarang jadi obrolan oleh kalangan sastra, mengacu ke sejarah dan udar gagasan-imanijasi atas teks-teks sastra gubahan kaum bumiputra.
            Ingatan untuk Marco Kartodikromo (1890-1932) dimunculkan oleh Pawon Sastra di Balai Soedjatmoko Solo, 22 Februari 2014. Festival Sastra Solo 2014 mengundang publik mengikuti diskusi bertema “Student Hidjo dan Marco Kartodikromo” dengan pembicara Andreas Susanto (sejarawan) dan Muhidin M. Dahlan (esais dan peneliti sejarah). Novel Student Hidjo (1919) garapan Marco Kartodikromo, berlatar Solo di masa awal abad XX, menguak pelbagai gagasan-imajinasi pendidikan modern, pesona alat transportasi modern, bahasa “revolusioner”, kegamangan identitas, geliat pergerakan politik, arus transformasi kota, asmara di negeri terjajah.
            Kita bakal kaget jika membuka ulang halaman-halaman sejarah sastra modern di Indonesia. Para ahli sering menganggap sastra modern mulai dari episode Balai Poestaka, 1920-an. Novel-novel Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Sitti Nurbaja (Marah Roesli), Salah Asoehan (Abdoel Moeis) ditaruh sebagai “pemula”, berlatar kebijakan literasi kolonial dan kepentingan institusi kolonial demi “memberi” bacaan bagi kaum pribumi. Novel-novel Marco Kartodikromo tak termasuk sebagai penggerak awal kesusastraan modern di negeri terjajah. Buku-buku sejarah dan ulasan sastra oleh A. Teeuw, H.B. Jassin, Ajip Rosidi, Zuber Usman tak menempatkan Marco Kartodikromo sebagai pengarang modern: penggerak sastra kaum bumiputera. Novel-novel berjudul Mata Gelap, Student Hidjo, Matahariah juga enggan jadi acuan kehadiran teks sastra berlawanan dengan imperatif literasi kolonial.
Bakri Siregar dalam buku Sedjarah Sastera Indonesia Modern (1964) memberi catatan penting untuk peran Marco Kartodikromo: “Sastera Indonesia modern bermula dengan kesadaran nasional… dia dimulai dengan tradisi revolusioner jang dilaksanakan oleh Mas Marco Kartodikromo.”  Kita memang jarang mendapat informasi dan ulasan mengenai kebermaknaan novel-novel garapan Marco Kartodikromo. Kesadaran atas “nasionalisme” dan “Indonesia” diajukan oleh Marco Kartodikromo di jagat sastra dan pers. Ada pembedaan aksentuasi untuk mengungkapkan suara-suara kaum bumiputera di hadapan kolonial. Ungkapan di sastra menampilkan Marco Kartodikromo sebagai pengisah impresif meski tak tergoda memberi keberlimpahan pesan secara gamblang. Marco Kartodikromo justru mengajukan perkara dan dilema berkaitan identitas, bahasa, busana, kota, intelektualitas, kelas sosial, teknologi. Pelbagai hal itu tampil di Mata Gelap (1914) dan Student Hidjo (1919). Imajinasi tentang negeri terjajah mengalami “zaman kemadjoean” dan “zaman bergerak” disampaikan oleh Marco Kartodikromo dengan kesadaran bahasa baru: “Melajoe”.
Bahasa dan imajinasi Marco Kartodikromo tak menghamba ke kolonial. Pembedaan peran Marco Kartodikromo dengan para pengarang Balai Poestaka (1920-an) adalah kesanggupan “menantang” imperatif kolonial. Pembebasan dari dominasi kolonial mengakibatkan novel-novel Marco Kartodikromo adalah momok bagi “ketertiban dan kepatuhan” di Hindia Belanda. Novel menjadi sindiran dan perlawanan atas narasi kolonial. Rudolf Mrazek (2006) menganggap Student Hidjo adalah teks simptomatik, representasi “zaman bergerak”, sejak awal abad XX. Gejala kaum pribumi menjadi modern disuarakan oleh Marco Kartodikromo, bermula dari pengisahan “student” sebagai tokoh beridentitas modern sampai pemunculan narasi modernitas di kota-kota berlatar kolonialisme.
Kita pun ingat peran Marco Kartodikromo memang identik dengan idiom dan aksi bergerak. Marco Kartodikromo adalah redaktur Doenia Bergerak (Solo). Artikel-artikel dengan bahasa dan tema keras disajikan ke publik: bacaan mengubah nasib dan zaman. Peran sebagai pengarang dan jurnalis menggenapi ambisi Marco Kartodikromo “mencipta” sejarah baru bagi negeri terjajah, berbeda dengan kehendak kolonial atau kaum feodal. Marco Kartodikromo adalah “penggerak” meski jarang mendapat pengakuan dalam buku-buku resmi tentang pers dan sastra di Indonesia. Persembahan Mata Gelap, Matahariah, Student Hidjo adalah bukti dari “kemauan” menggerakkan sastra sebagai “tjahaja” untuk mengubah nasib kaum bumiputra dan negeri terjajah. Takashi Shiraishi (1979) menempatkan Student Hidjo sebagai referensi dari sejarah bergerak, bahasa bergerak, politik bergerak, identitas bergerak, nasib bergerak, ideologi bergerak, modernitas bergerak. Marco Kartodikromo tentu pantas dihormati sebagai penggerak. Kita juga perlu memberi pengakuan bahwa Marco Kartodikromo adalah pengarang modern di seberang dominasi kolonial.
Ingatan atas Marco Kartodikromo dan novel-novel “bergerak” memberi pesan bagi kita bahwa imajinasi bisa menjadi “api”, membarakan misi perubahan dan kehendak melawan kolonialisme. Novel adalah api! Marco Kartodikromo sengaja membarakan Hindia Belanda, mengubah narasi negeri terjajah. Imajinasi berapi tak pernah padam, memberi referensi bagi pembentukan “Indonesia” dan kemodernan. Marco Kartodikromo telah beraksi dan memberi warisan meski kita terlalu lama melupakan.
Lakon kolonialisme terus “menghancurkan” Marco Kartodikromo. Peminggiran atau penghilangan novel-novel dijalankan demi literasi bercap kolonial. Penguasa membuang Marco Kartodikromo ke Boven-Digoel (1927). Marco Kartodikromo dijauhkan dari pusat pergerakan. Novel-novel ingin diabsenkan oleh kolonial dari para pembaca. Nasib tak berpihak. Di Boven Digoel, Marco Kartodikromo (2 Desember 1931) menulis renungan: “Pekerdjaan jang seberat-beratnja di doenia ini memang mendjadi penoentoen rakjat jang sedang dalam kegelapan. Dan pekerdjaan sematjam itoe tak moengkin mendatangkan kenikmatan, kekajaan, kesenangan, sebaliknja boei, boeang, dan ada kalanja digantoeng.” Hidup Marco Kartodikromo berakhir secara tragis di Boven Digoel (19 Maret 1932), akibat malaria. Warisan-warisan berwujud artikel dan novel dipersembahkan bagi Indonesia meski kita “melupakan” selama puluhan tahun. Para ahli sastra pun sering menaruh novel-novel Marco Kartodikromo dalam “kegelapan”, berdalil ideologi atau pembakuan sastra modern di Indonesia. Aduh!   

  
Dimuat di Jawa Pos, 2 Maret 2014

Kamis, 06 Maret 2014

Bicara Pawon dan Festival Sastra Solo 2014 di RRI pro 2

 
 

Timur Gumregah (Apresiasi Tumrap Komunitas Sastra Pawon Solo), dening Ichwan Prasetyo

Tetembungan ”timur gumregah” ing ndhuwur kapethik saka irah-irahan buku antologi crita cekak (cerkak) lan geguritan Timur Gumregah, Para Mudha Remen Cerkak lan Geguritan kang dibabar dening Komunitas Sastra Pawon Solo ing adicara Festival Sastra Solo 2014, dina Setu-Minggu (22-23/2) kapungkur.
Kababare buku antologi cerkak lan geguritan kuwi dadi salah siji adicara ing rerangkene festival  sastra kang diadani dening Komunitas Sastra Pawon Solo kasebut. Sastra Jawa mung dadi perangan cilik saka festival sing ditekani dening para mudha sutresna budaya maca lan nulis saka Jakarta, Jawa Barat, DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, lan Madura kasebut.
Genderane adicara pancen festival sastra Indonesia. Embuh jalaran adicarane lan sing duwe acara manggon ing Solo utawa pawadan liya saengga ing tengah-tengahe festival sastra Indonesia kuwi ana papan lan wektu mirunggan kanggo ngleluri sastra Jawa lumantar cerkak lan geguritan.
Sing genah, adicara sing diadani dening generasi mudha kuwi kanyata kuwawa ngimpun 17 panulis geguritan lan sanga panulis cerkak kang wusana dipilah lan dipilih dadi antologi geguritan lan cerkak kang ngimpun karyane 17 panggurit lan pitung panulis cerkak.
Krenahe Komunitas Sastra Pawon Solo iki nuduhake lamun sastra Jawa pancen panggah krodha lan tansah nglairake generasi anyar panulis sastra Jawa.Yen ditintingi kanthi temen-temen, saperangan akeh panggurit lan panulis cerkak sing karyane kaimpun ing buku antologi kang dicithak sakmadya banget kuwi pancen generasi mudha.
Ana sing pancen duwe krenteg saka telenging ati sedya nresnani, ngleluri, lan ndayakake sastra Jawa. Ana uga sing ketarik marang sastraJawa—mligine geguritan lan cerkak—sawise sawetara wektu srawung kalawan kanca sabarakan sing tresna temen-temen marang sastra Jawa.
Puluhan taun kapungkur ana sing kandha lamun sastra Jawa wus mati. Kanyatane nganti titi wanci iki ana wae generasi mudha sing tresna marang sastra Jawa, nggladhi awake dhewe murih bisa ngasilake karya sastra Jawa, lan tansah nglodhangake wektu kanggo ngleluri lan ndayakake sastra Jawa.
Tetembungan “timur gumregah” pancen pas kanggo nggambarake kridhane para generasi mudha sing kaimpun ing Komunitas Sastra Pawon Solo. Saperangan saka generasi mudha kuwi saliyane ngasilake karya sastra abasa Indonesia uga kanthi temen-temen ngleluri lan ndayakake sastra Jawa.
Ing titi wanci pungkasan iki pancen mung sithik banget karya sastra Jawa awujud buku sing bisa ditemokake ing toko-toko buku. Nanging, sanyatane para sutresna sastra Jawa, para sastrawan Jawa, lan generasi mudha sing duwe rasa ketarik utawa rasa tresna marang sastra Jawa tansah ngasilake karya sastraJawa.
Saperangan karya sastra Jawa kuwi kababar ing kalawarti kayata Jagad Jawa Solopos. Dene saperangan akeh karya sastra Jawa kuwi urip ing madyaning komunitas sutresna sastra Jawa kaya Komunitas Sastra Pawon Solo kuwi.
Ing komunitas kaya ngono kuwi mesthi ana kalodhangan mirunggan kanggo ngrembug maneka warna karya sastra Jawa asil karyane kabeh sing kaimpun ing komunitas kuwi. Tradhisi “kritik sastra” uga urip ing komunitas kuwi.
Hamung jalaran cupete prabeya lan kanyatan pasar buku wusana karya sastra Jawa kuwi ora nganti kababar dadi buku komersial sing dipamerake ing tokok-toko buku. Sing genah, nganti titi wanci iki sastra Jawa tetep urip. Generasi mudha sastra Jawa uga ora ana enteke. Para generasi timur tetep gumregah ngleluri sastra Jawa.


(Kababar ing Jagad Jawa Solopos, Kemis 6 Maret 2014)

Berita Festival Sastra Solo 1 halaman di Solopos, 6 Maret 2014


Pembubaran Panitia di Phuket

   

foto-foto Laras
foto lain menyusul

2 halaman berita Festival Sastra Solo 2014 di Pikiran Rakyat

foto diambil dari fb @ratna ayu budiarti

BUKU BICARA, 5 PENULIS 3 GENRE, oleh: Ratna Ayu Budhiarti (dimuat di Selisik, Pikiran Rakyat, Senin 3 Maret 2014, halaman 21)

Hujan menderas sore itu. Pendopo Wisma Seni, Taman Budaya Jawa Tengah diselimuti udara dingin. Pukul 15.30 ketika seharusnya acara sudah dimulai, beberapa orang mulai berdatangan. Mereka mengalami kendala transportasi dan dihadang hujan saat berpindah dari lokasi acara Melacak Iklan Sastra Tempo Dulu, di Kepatihan Artspace. Jarak yang memakan waktu sekitar 15 menit dengan kendaraan itu tak menghalangi niat para penikmat sastra dan peserta untuk menghadiri acara.
Selain diskusi tentang buku Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo di Balai Soedjatmoko, Buku Bicara dari 5 orang penulis adalah bagian yang ditunggu-tunggu pada Sabtu 22 Februari 2014. Sebab kebetulan 4 penulis yang bukunya terpilih untuk dibahas berasal dari Jawa Barat, dan 1 penulis lain berasal dari Solo. Buku-buku yang diulas adalah cerita silat Jaka Wulung- Hermawan Aksan (Bandung), kumpulan puisi Upacara Bakar Rambut- Dian Hartati (Bandung), novel Jurai –Guntur Alam (Bekasi), kumpulan puisi Dada yang Terbelah- Ratna Ayu Budhiarti (Garut), kumpulan cerpen Rembulan Merah- Abednego Afriadi (Solo).
Suasana menjadi hangat setelah moderator, Indah Darmastuti, membuka acara dan menyilakan peserta menikmati wedangan yang disajikan. Kemudian 5 orang pengulas buku satu persatu mulai mempresentasikan esainya. Sementara para penulisnya sendiri berbaur dengan peserta, menyimak dengan baik setiap tutur kata pengulas.
Setyaningsih, pengulas pertama yang membahas tentang buku kumpulan puisi Dada yang Terbelah, menyorot peran penting seorang wanita dalam kedudukannya di rumah tangga: sebagai anak, istri, dan ibu. Esais muda yang tulisannya kerap muncul di berbagai media lokal dan nasional itu mengutarakan bahwa puisi mengimajinasikan gerak tubuh bersama waktu dan peristiwa. Dan peran diri dalam membentuk dan memilih kata-kata demi kelahiran puisi.
Novel Jurai diulas oleh Andri Saptono, penulis cerpen dan novel sekaligus editor di salah satu penerbit di Solo. Dalam novel ini, Guntur Alam dianggap berhasil menampilkan cerita dengan latar belakang lokalitas Tanah Abang, Sumatera Selatan. Kata jurai itu sendiri bermakna garis nasib (kehormatan) pada seorang anak yang dikait-kaitkan orang dengan ayah-ibu si anak tersebut. Bila ada seorang anak yang terkenal urakan, nakal, maka akan dikatakan: itu jurai orang tuanya, seperti pepatah buah tak akan jauh dari pohonnya. Banyak nilai indah yang disematkan dalam perjuangan tokoh Catuk di novel ini.
”Tapi saya agak terganggu dengan pola pikir Catuk yang terlalu dewasa, tak sesuai dengan usia anak kelas lima SD. Begitupun ketika ada adegan ia jatuh cinta pada teman wanitanya lalu menjalani cinta platonis. Penggambaran kedewasaannya terlalu dipaksakan”, Andri melempar kritik, meskipun menurutnya secara kualitas teknis novel ini tak banyak masalah.
Sedangkan pada kumpulan cerpen Rembulan Merah, sang pengulas, M. Fauzi Sukri, mengungkapkan bahwa pembaca akan lebih gampang menemukan sosok ayah sebagai tokoh yang paling sering menjadi pusat, bukan ibu. Dari 15 cerita pendek yang terkumpul di dalamnya, ada bayang-bayang pemaknaan keluarga. Keluarga bukan saja menjadi bingkai yang melingkupi tokohnya, tapi bahkan menguasai dan menjadi semacam kekuatan yang tak pernah bisa dilawan atau tidak boleh dilawan, dibongkar, dan dihancurkan.
Lain lagi dengan buku kumpulan puisi Upacara Bakar Rambut yang diulas oleh Arif Saifudin Yudistira. Menurut Arif, puisi itu subjektif. Puisi-puisi yang ditulis Dian Hartati lebih merupakan puisi keseharian dengan dibingkai oleh perasaan-perasaan penyairnya. Kumpulan puisi Dian seperti mengajak pembaca ke dalam duka yang mendalam tanpa harus meneteskan air mata meski penyair sudah mencoba membagi duka laranya.
Pembahasan serius menjadi cair ketika Gunawan Tri Atmojo menyatakan kekecewaannya secara gamblang terhadap trilogi cerita silat Jaka Wulung. “Sayangnya saya tidak menemukan adegan pendekar mencabuli perempuan sambil merampok. Padahal kan biasanya cerita silat itu gitu, kalau gak tokohnya mabuk di kedai lalu berantem, ya ada adegan seksualnya. Tapi saya gak menemukan itu di Jaka Wulung”, papar Gunawan setengah berkelakar sehingga membuat yang hadir tertawa.
Hermawan Aksan menulis Jaka Wulung berdasarkan kaidah-kaidah penulisan cersil yang meliputi petualangan seorang pendekar nomaden, pencarian jati diri, pembalasan dendam, dan kisah asmara yang menyedihkan. Keempat kaidah tersebut diikat dengan latar sejarah terpecah-belahnya Kerajaan Sunda dan data geografis yang cukup akurat.
Selain ulasan kelima orang yang dibukukan dalam Kumpulan Tulisan Festival Sastra Solo, ada 10 ulasan lain dari orang yang berbeda. Mereka adalah Priyadi, Bisri Nurhadi, Saeful Achyar, Karisma Fahmi Y, Mustaim Romli, Supriyadi, Wijayanto Puji, Budiawan Dwi Santoso, Abdur Rohman, Ngadiyo. Ulasan mereka terhimpun dalam sebuah kumpulan tulisan berjudul Apresiasi Buku, dan dibagikan secara gratis kepada semua yang hadir pada saat acara.
“Pawon keren, bisa menghadirkan para penulis alumni UWRF, bahkan ada salah satu panitia yang satu angkatan di UWRFnya. Apalagi buku yang dibahas beda-beda genre. Ini menjadi pemicu semangat untuk teman-teman yang lain agar lebih banyak lagi berkarya”, ujar Seruni, penulis dari Solo, ketika ditanya tanggapannya terhadap acara ini.
Dari ketiga genre tulisan yang dikupas dalam Buku Bicara, cersil Hermawan Aksan dan novel Guntur Alam mendapat tanggapan paling ramai dari peserta yang hadir. Pertanyaan seputar pemberian nama jurus yang puitis dalam Jaka Wulung, dan pertanyaan tentang cinta platonis anak kelas V SD dalam kisah Jurai, berhasil mengundang gelak tawa yang riuh dari penonton.
Kelima pengulas sore itu tampak sama bahagianya dengan lima penulis yang bukunya diapresiasi. Sebelum acara ditutup, masing-masing penulis memberikan penjelasan tentang pemilihan judul dan tema yang diangkat dalam bukunya. Hujan tak lagi deras di Wisma Seni TBJT. Setelah istirahat sejenak, panitia dan peserta bersiap mengikuti rangkaian acara terakhir di hari pertama festival, Solo dalam Puisi.
***






http://ratnaayubudhiarti.wordpress.com/2014/03/03/buku-bicara-5-penulis-3-genre/

BINGKAI SOLO DALAM PUISI, oleh: Ratna Ayu Budhiarti (dimuat di Selisik, Pikiran Rakyat, Senin 3 Maret 2014, halaman 22)

Seorang perempuan mengenakan kain batik dan berkerudung hijau melenggak-lenggok, sesekali menembang lagu Jawa dan membaca puisi berjudul Mengkaji Bengawan dari buku Solo dalam Puisi di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo, Sabtu (22/02) malam. Ia bernama Nurni Chaniago, penari, penulis, sekaligus pengajar Seni Budaya di salah satu SMP di Klaten. Selain Nurni, sebelas penyair lainnya juga membacakan puisi yang terhimpun dalam buku yang sama.
Acara peluncuran buku Solo dalam Puisi ditandai oleh sambutan dari salah seorang kurator, Fanny Chotimah. “Puisi yang terpilih merupakan puisi yang bertema Solo, sesuai tema buku antologi tersebut. Sedangkan pertimbangan lain selain alasan estetik puisi ialah terpotretnya penanda-penanda kota semisal Bengawan Solo, Jalan Slamet Riyadi, Museum Radya Pustaka, Stasiun Solo Balapan, Kampung Batik, Hik/Wedangan, Pasar Klewer, Lokananta, Gladak, Alun-alun Kota dan ruang-ruang lain ataupun kuliner yang menjadi ciri khas kota Solo”, paparnya. Begitu juga puisi yang bergerak lebih jauh membongkar sejarah kota yang pernah terbakar dan berdarah. Dengan adanya puisi-puisi tersebut diharapkan kita dapat melacak apa yang telah hilang dan yang masih ada dari kota Solo.
“Kami tak menyangka, ternyata antusiasme kawan-kawan begitu baik. Total puisi yang terkumpul ada 300, dari 105 penyair. Namun karena dana yang terbatas, maka puisi tersebut tidak kami muat semua, dipilih beberapa, sisanya akan dialihkan untuk dimuat di buletin Pawon edisi-edisi berikutnya”, Yudhi Herwibowo menjelaskan hal ini saat pembukaan festival. Setelah melalui tahap kurasi, akhirnya terpilih 85 penyair dan 101 puisi, bersanding dengan puisi-puisi penyair sebelumnya yang pernah menulis tentang Solo seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Rendra, Armaja, Hartojo Andangdjaja, Wiji Tukhul, Afrizal Malna, dan lain-lain.
Buku antologi Solo dalam Puisi merupakan buku kedua yang lahir setelah antologi kumpulan cerpen berjudul Lamaran Sri (2010), yang telah lebih dulu mengekalkan kisah persentuhan para penulis dengan kota Solo. Buku puisi yang diterbitkan oleh Buletin Sastra Pawon tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara Festival Sastra Solo pada tanggal 22-23 Februari 2014, sekaligus sebagai perayaan Komunitas Sastra Pawon yang menginjak usia 7 tahun.
Penyair pertama yang menampilkan puisinya di TBJT malam itu Yudi Teha dengan musikalisasi puisi menggunakan gitar. Yudi mampu membawa penonton mengembara dalam imajinasi visual melalui puisi Dari Manahan Sampai Pasar Gede. Saat satu bait selesai, lampu diredupkan dan sekira165 penonton larut menikmati kisah tentang perjalanan dan kenangan dari puisinya. Pada bait ketiga, penonton riuh bertepuk tangan saat kata pramex diucapkan. Pramex adalah akronim dari Prambanan Express, kereta api rute Yogya-Solo, yang sangat akrab dalam keseharian masyarakat. Tampak Yudi hampir hapal seluruh lirik puisinya, sebab dia sangat jarang melihat ke buku dari posisinya yang berdiri di samping podium. Ia hanya memainkan gitar sambil sesekali memejamkan mata, seolah menunjukkan kesan mendalam akan resapan kenangan yang diingatnya. Ia menutup penampilannya dengan musikalisasi puisi Januari karya Seruni.
Sedangkan Seruni yang tampil setelahnya membacakan puisi karya Sofyan RH. Zaid berjudul Mengenang Green Cap, 1949. Larik-larik puisinya sebagai berikut: seperti pesta, perang sudah berakhir # airmata dan darah/ berhenti mengalir/ senjata dilempar # berubah mawar/ tinggal bercak dan jejak # kemudian menjadi sajak// di jalan pulang menuju rumah # lelaki itu ditembak tepat di dada/ jatuh tersungkur ke tanah # tercium aroma bunga/ anak dan istrinya menunggu # sampai akhirnya menjadi batu// sementara di gading pengungsian # orang-orang dibantai seperti hewan/ airmata dan darah kembali mengalir # perang tidak sebenarnya berakhir/ langit gelap # bumi kalap// dan kita tahu dihianati # lebih perih dari mati//2014.
Puisi yang dibacakan Seruni mengisahkan peristiwa setelah Serangan Umum Solo. Pada tanggal 11 Agustus 1949 terjadi banyak pelanggaran perjanjian gencatan senjata oleh pasukan khusus Baret Hijau (Green Cap) atau KST yang menewaskan banyak penduduk sipil. Situasi tersebut mendorong terjadinya pertempuran apalagi pasukan TNI terutama pihak DEN II TP Brigade XVII tidak mau menerima perjanjian ini karena hampir seluruh Kota Solo telah berhasil diduduki dalam serangan umum tersebut dan pihak Belanda telah jelas-jelas melanggar. Inilah salah satu contoh bahwa puisi bisa menjadi penanda peristiwa. Selain menuliskan imajinasi visual, puisi juga menjadi narasi tentang sejarah sebuah kota.
Selain Yudi Teha, Seruni, dan Nurni Chaniago, penyair lain yang tampil adalah Eko HM, Moch. Ghufron Cholid, Sigit Rais, Aloeth Pati, Catur Harimurti, Khairul Umam, Suyitno Ethex, Ardi Susanti, Stebby Julionatan, dan Shenobi Mikael.
Sigit Rais yang berkolaborasi dengan rekannya, Arif, dalam puisinya menceritakan tentang kuliner Solo. Penampilan keduanya cukup menarik ketika pada salah satu bait, Sigit mengajak penonton bertepuk tangan dan mendendangkan berulang-ulang: tengkleng… sate buntel…/ teh poci… wedang ronde. Sementara Stebby Julionatan dan Shenobi Mikael bersama Komunitas Sae Sanget Indonesia dari Probolinggo bercerita tentang berbagai tempat di Solo melalui musikalisasi puisi diiringi gitar dan seruling yang apik dan merdu.
Acara ditutup dengan penampilan Teater Sirat. Para mahasiswa di IAIN Surakarta itu memadukan pembacaan puisi dan seni pantomim. Penampilan mereka sangat menghibur dan membuat penonton tertawa dengan aksi kocaknya. Sejumlah pemain lain yang tersebar di kursi penonton berteriak membacakan puisi saat 3 pemain pantomim sedang beraksi. Namun para pembaca puisi yang berbaur dengan penonton itu seolah dikendalikan oleh sebuah remote control yang dipegang pemain pantomim. Remote kemudian rusak, puisi-puisi mengumandang bersamaan dan lampu pun dinyalakan sebagai penanda acara selesai.
***


http://ratnaayubudhiarti.wordpress.com/2014/03/03/bingkai-solo-dalam-puisi/

FESTIVAL DENGAN MODAL AWAL RP 126.000, oleh: Ratna Ayu Budhiarti (dimuat di Selisik, Pikiran Rakyat, Senin 3 Maret 2014, halaman 22)

foto diambil dari wall @ratna ayu budiarti

Ada decak tak percaya dari para peserta yang hadir pagi itu di Balai Soedjatmoko, Jalan Slamet Riyadi no. 284 Solo, ketika Yudhi Herwibowo mengatakan bahwa Komunitas Sastra Pawon hanya memiliki modal awal Rp 126 ribu saja, itupun saldo uang kas dari kegiatan terakhir dan urunan para pegiat di Pawon. Sebagai ketua panitia Festival Sastra Solo 2014 , Yudhi mengungkapkan kebahagiaannya, sebab dengan dana yang terbatas, akhirnya acara dapat diselenggarakan.
Berangkat dari kegelisahan Yudhi dan kawannya ketika menghadiri Borobudur Writers and Cultural Festival September 2013 lalu di Yogyakarta. Ia merasa sastra dan budaya begitu berjarak, tak dapat dinikmati semua orang, karena hanya para undangan saja yang bisa menghadiri acara. Padahal dari segi penyusunan acara dan tema yang diangkat bisa dibilang cukup menarik. Karena itu, dia bersama beberapa teman lainnya di Pawon mematangkan ide dan konsep kegiatan festival. Hingga akhirnya diambil keputusan festival itu digelar sekaligus merayakan ulang tahun Komunitas Sasta Pawon ke 7 tahun.
“Mengingat dana yang terbatas itu, sebetulnya kami agak deg-degan. Maka disusunlah rencana A dan rencana B, di mana rencana A berisi pembicara idaman, para penulis dari luar daerah, dan rencana B adalah teman-teman Pawon yang sudah biasa hadir dan diskusi”, Yudhi memaparkan.
Kemudian melalui akun jejaring sosial dan blog Buletin Sastra Pawon diumumkan rencana festival itu dan membuka peluang bagi siapapun untuk memberikan donasi seiklasnya. Karena melihat semangat Komunitas Pawon, beberapa orang tertarik menjadi donatur dan menyisihkan uang dan membantu menyediakan fasilitas dan sarana yang diperlukan.
Sampai beberapa hari menjelang acara, dana yang terkumpul mencapai angka Rp 11,5 juta. Sementara untuk menjalankan seluruh program festival (7 acara festival dan 3 acara pra festival) secara benar dan layak, dibutuhkan dana sekira Rp 21 juta.
Pengumpulan donasi ini diperbarui infonya setiap saat di blog Pawon, lengkap dengan nama donatur dan jumlah donasinya. Keterbukaan itu menambah simpati dari berbagai kalangan. Misalnya beberapa minggu menjelang festival, pengelola Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) memberikan bantuan fasilitas penginapan di Wisma Seni bagi pembicara dan 30 peserta yang sudah mendaftarkan diri sebelumnya, juga snack dan wedangan di dua acara festival yang bertempat di TBJT. Selain itu pihak pengelola Balai Soedjatmoko, selain menyediakan tempat, juga memberikan honor untuk 4 orang pembicara dan 2 orang moderator acara. Ada juga sponsor yang memberikan donasi berupa uang dan fasilitas, ditambah membuatkan 500 poster dan desain kaos.
Kegigihan Komunitas Sastra Pawon untuk mewujudkan mimpi penyelenggaraan festival yang lebih meriah daripada 3 tahun sebelumnya betul-betul kuat. Sejak diumumkannya rencana ini pada akhir tahun 2013, seluruh anggota Pawon bekerja keras melakukan pendekatan dan promosi pada pihak sponsor, pengisi acara, dan pegiat seni lainnya.
Beberapa orang yang diundang mengisi acara Pawon memang sudah pernah datang ke Solo dan ketularan semangat berkarya yang positif dari seniman Solo. Maka setelah mendapatkan informasi yang detil dan terbuka tentang kekurangan dana yang dialami Pawon, akhirnya secara sukarela, mereka rela merogoh kocek pribadi lalu datang dengan riang ke Solo. Hal ini juga berlaku pada pendekatan terhadap beberapa pengisi acara yang dengan senang hati datang meramaikan festival.
Di acara Buku Bicara misalnya, para pengulas yang membahas kelima buku para penulis yang diundang, hanya mendapatkan buku yang diulasnya sebagai apresiasi. Begitupun para penulis bukunya, mereka dengan riang gembira berada di Solo tanpa pamrih. Namun mereka mendapatkan penginapan yang layak dan jamuan yang bersahaja.
“Kita patut meniru semangat Pawon, karena semangat itulah yang membuat kita dengan sukarela datang menghadiri festival ini. Bahkan seharusnya teman-teman di kota lain merasa iri dengan semangat Pawon ini. Semoga acara ini bisa diadakan setiap tahun ”, ujar penulis Guntur Alam ketika ditanya alasannya rela jauh-jauh dari Bekasi datang ke Solo.
Bukan hanya Guntur Alam, penyair Khairul Umam bahkan rela bersepeda motor dari Madura ke Solo demi menghadiri festival itu. “Ini pengalaman pertama saya bersepeda motor ke Solo. Sungguh ini pengalaman yang sangat puitis, bisa bertemu dan bersilaturahmi dengan teman-teman dari daerah lain”, ungkap Khairul yang puisinya masuk dalam buku Solo dalam Puisi.
“Saya mendadak beli tiket ke Solo pas hari keberangkatan, dengan harapan mendapatkan sesuatu setelah mengikuti festival. Ya semacam studi banding. Siapa tahu nanti di Bandung bisa membuat acara serupa”, ujar Romyan, penyair yang puisinya lolos seleksi .
Meski lokasi acara dari satu tempat ke tempat lainnya cukup berjauhan, hingga memakan waktu sekitar 15-20 menit perjalanan dengan kendaraan, dan jarak terdekat hanya dari Wisma Seni ke teater Arena TBJT, yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki, para pembicara dan peserta tetap menikmati seluruh rangkaian acara dengan antusias. Ini terlihat dari jumlah peserta yang hadir di setiap acara rata-rata selalu berkisar sekitar 60-70 orang, dan pada acara Solo dalam Puisi penontonnya lebih banyak lagi, 165 orang.
Kesediaan para pembicara, tamu undangan, dan peserta yang datang dari berbagai daerah seperti Jakarta, Bekasi, Bandung, Garut, Yogyakarta, Mojokerto, Tulungagung, Probolinggo, Caruban hingga Madura merupakan bukti bahwa militansi dan kekuatan jaringan yang dimiliki Pawon adalah kunci keberhasilan penyelenggaraaan Festival Sastra Solo 2014. Semua berharap, Komunitas Sastra Pawon akan terus membuat festival serupa sebagai agenda rutin tahunan di kota Solo.
***


http://ratnaayubudhiarti.wordpress.com/2014/03/03/festival-dengan-modal-awal-rp-126-000/

FESTIVAL SASTRA SOLO DAN SEMANGAT BERKARYA, Oleh: Ratna Ayu Budhiarti (dimuat di Selisik, Pikiran Rakyat, Senin 3 Maret 2014. Halaman 21)


Kita kerap mendengar kata “festival” pada acara yang cukup besar. Arti kata “festival” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah satu hari atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa penting dan bersejarah; pesta rakyat. Sejarah mencatat keberadaan festival tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan sebuah kota. Demikian pula yang terjadi di Solo.
Pemerintah Kota Solo rutin menggelar puluhan festival sepanjang tahun. Contohnya Festival Dolanan Bocah, Festival Gethek, Festival Jenang Solo, Festival Keroncong, Festival Ketoprak, Festival Suro, Festival Wayang, dan sebagainya. Penyelenggaraan berbagai festival ini berdampak positif bagi peningkatan citra Solo sebagai Kota Kreatif dan Kota Budaya.
“Selama 3 tahun terakhir ini Solo mendapat julukan Kota Festival, namun kebanyakan sifatnya lebih kepada budaya atau festival-festival pertunjukan. Karena itulah kami ingin membuat festival yang berbeda dengan yang telah ada sebelumnya. Apalagi sastra, tak banyak festival yang mengakomodasinya”, Yudhi Herwibowo, ketua panitia Festival Sastra Solo 2014 menjelaskan.
Banyak seniman yang pernah berproses kreatif di Solo. Misalnya Arifin C. Noer, Basuki Rahmat, Putu Wijaya, Rendra, Afrizal Malna, Tisna Sanjaya, F.X. Harsono, ratusan grup teater, sastrawan, penyair, novelis, cerpenis, pernah membacakan karya-karya mereka di Solo. Bahkan Peter Brook, sutradara legendaris itu juga pernah datang ke Solo.
Berdasarkan pemikiran itu, Komunitas Sastra Pawon bertekad menyelenggarakan sebuah festival yang bertujuan saling mengeratkan silaturahmi para sastrawan sekaligus mengakrabkan sastra dan dunia literasi di masyarakat. Komunitas ini sendiri terbentuk dari ide penerbitan buletin sastra, yang didukung oleh sejumlah komunitas sastra di Solo. Buletin yang terbit pertama kali pada 27 Januari 2007 berawal dari kegelisahan 3 orang yang bergiat di bidang sastra. Mereka adalah Bandung Mawardi, Joko Sumantri, dan Ridho Al Qodri. Setelah berdiskusi, nama “pawon” dilontarkan oleh Bandung, dan akhirnya disepakati. Nama itu diambil dari khazanah Jawa, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi dapur. Pawon mengandung arti tempat memasak, kerja produktif, suasana, aroma, makanan, etos hidup, perjumpaan, dan interaksi. Dalam perjalanannya, Buletin Pawon meluaskan kegiatan ke wilayah lain diluar penerbitan, yakni mengadakan diskusi, workshop penulisan, kelas menulis, pentas seni dan sastra, menambah lini penerbitan, pendokumentasian kota melalui cerita dan sebagainya.
Tiga tahun lalu Pawon mengadakan acara bertajuk Festival Sastra Pawon Solo. Acara yang berlangsung pada 22-23 Januari 2011 digelar di empat tempat: Taman Bale Kambang, Perpustakaan Radya Pustaka, Ngarsopuro, dan Kampung Batik Kauman. Kemasannya nyaris sama dengan acara sastra pada umumnya: seputar diskusi buku, literasi, dan proses kreatif kepenulisan. Tak beda jauh dengan Festival Sastra Solo 2014.
“Yang terasa lebih meriah adalah karena tahun ini lebih banyak peserta dari luar Solo yang ikut berpartisipasi meramaikan acara”, Indah Darmastuti, panitia sekaligus moderator memaparkan. Selain diorganisasi oleh Pawon, festival ini juga didukung oleh Balai Soedjatmoko Solo, Taman Budaya Jawa Tengah, Buku Katta, Rempah Rumah Karya, Kepatihan Artspace, penerbit Bentang Pustaka, Jagat Abjad, dan Janur Biru.
Jika dibandingkan dengan festival sastra lain, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) misalnya, Festival Sastra Solo dapat diumpamakan miniaturnya, dengan penentuan lokasi acara di 5 tempat berbeda: Balai Soedjatmoko, Kepatihan Artspace, Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Wisma Seni TBJT, dan Rempah Rumah Karya. Dengan panitia inti berjumlah 7 orang, dan volunteer hanya 4 orang, acara dan pengaturan waktunya bisa dikatakan efisien.
Ada 7 acara dalam festival kali ini: diskusi buku Student Hidjo dan Marco Kartodikromo, Melacak Iklan-iklan Sastra Tempo Dulu, Buku Bicara, Solo dalam Puisi, Bicara Alice Monroe, Bicara Sastra dengan Raudal Tanjung Banua, Para Mudha Remen Cerkak lan Geguritan (karya sastra Jawa). Dari ketujuh rangkaian acara, Solo dalam Puisi mendapat respon kunjungan yang paling besar. Sekira 165 penonton memadati tempat duduk di Teater Arena TBJT.
Puncak acara yang mengharukan adalah syukuran ulang tahun Pawon yang ke-7 tahun dengan prosesi pemotongan 7 gunungan tumpeng yang sebelumnya diiringi doa oleh Mbah Prapto dan tarian cucuk lampah oleh Boby Ari, seniman tari Solo. Setelahnya ada doa bersama untuk Joko Sumantri, salah satu pendiri Pawon yang sudah tiada.
“Festival ini seperti keajaiban. Saya sangat terharu, selain dana yang terbatas, dukungan dari seniman-seniman Solo sangat baik, sehingga setiap acara bisa terlaksana dengan lancar. Para penulis yang datang pun dapat mengeratkan kekerabatan, sebab kita tak pernah bisa sendiri dalam dunia kepenulisan”, ujar Puitri Hatiningsih, salah satu panitia.
Festival Sastra Solo 2014 memang sudah lewat. Tapi banyak hal yang bisa dipelajari dari proses penyelenggaraannya. “Rasanya ini harus ditiru oleh sastrawan di Bandung. Sepertinya harus ada yang bisa merangkul seluruh komunitas untuk menyelenggarakan acara seperti yang dibuat oleh Pawon ini”, ujar penulis Hermawan Aksan ketika ditanya harapannya selepas mengikuti acara.
“Saya seperti lahir kembali karena sudah lama tidak mengikuti festival sastra. Suatu hal yang luar biasa ketika Pawon bisa membuat festival yang meriah dengan modal awal yang sangat terbatas. Saya ingin di Bandung ada festival semacam ini”, harapan serupa diungkap oleh penulis Dian Hartati.
Beni Setia, penulis senior dari Caruban, Jawa Timur, menilai loyalitas anggota komunitas untuk tetap bersastra sangat tinggi, “Pawon itu menghidupkan diri dari honor yang disisihkan anggota untuk diskusi-diskusi yang mereka buat. Bahkan orang-orangnya siap nombok demi kelangsungan acara”
Semoga Jawa Barat, atau Bandung khususnya, bisa meniru semangat Komunitas Sastra Pawon dalam menggerakkan dunia literasi dan penyelenggaraan festival sastra.


http://ratnaayubudhiarti.wordpress.com/2014/03/03/festival-sastra-solo-dan-semangat-berkarya/

Kamis, 27 Februari 2014

Ucapan Terima Kasih



(Buku Bicara) Upacara Bakar Rambut: Kado Bagi Puisi, oleh Abdur Rohman



Kita mengenal Dian Hartati sebagai salah seorang tokoh sastra kita yang istiqomah menulis puisi, yang menghendaki diri sebagai penyair. Ada beberapa kumpulan puisinya yang sudah terbit menjadi buku: Nyalindung (2005), Cerita Tentang Daun (2007), dan Kalender Lunar (2011). Selain itu, puisi-puisinya juga banyak yang telah dibukukan dalam antologi bersama. Beberapa puisinya juga pernah singgah di berbagai media cetak. Hebat, Dian menggerakan literasi melalui puisi!
Dan dalam Upacara Bakar Rambut ini kita berjumpa dengan Dian sebagai penyair, yaitu mahkluk berakal yang selalu bertanya-tanya tentang kehidupan, merenung, dan suka menulis, meramu kata. Dian, dalam sajak-sajak yang dikumpulkan ini, yang menarik bagi saya adalah dia sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap berbagai masalah mendesak yang mudah muncul ke permukaan. Dian tak menaruh perhatian terhadap berbagai masalah sosial, agama, politik. Dian sebagai penyair lebih memilih masalah-masalah pribadi yang ia alami dalam kehidupannya. Bahkan ia menyebut kumpulan puisinya ini sebagai “kado termahal” bagi dirinya. Ia juga menyebutkan bahwa puisi merupakan “media kebahagiaan diri”.
Selama membaca Upacara Bakar Rambut ini, ada fenomona aneh yang muncul dalam diri saya. Tiba-tiba saya teringat Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie. Saya mengenal Wahib dan Gie melalui catatan hariannya. Keduanya menandai waktu dengan menulis catatan harian. Tiap saat, mereka merawat kejadian dengan menulis catatan harian. Ini berbeda dengan Dian. Yang menarik dari Dian, jika biasanya penanda waktu adalah dengan menulis catatan harian, Dian sendiri menandai waktu dengan menulis puisi. Saya membaca kumpulan puisi ini seperti membaca catatan harian dari Dian. Puisi Dian berangkat dari tema-tema yang ia alami sehari-hari. Puisi bagi Dian adalah simbol waktu. Puisi adalah pertanda. Dian ingin berkomunikasi dengan masa lalunya dengan puisi. Interaksi melalui puisi.
Dian menulis puisi dari realitas kehidupannya. Realitas yang ia alami sebagai seorang diri. Maka, tema-tema yang diangkat oleh Dian juga merupakan tema-tema yang tak jauh dari apa yang ia alami. Mungkin kalau boleh saya katakan, saya menyebut puisi Dian sebagai puisi “realisme diri”. Dian mengangkat tema dalam tahapan kehidupannya: kelahiran, pernikahan, kepergian.
Tema yang diangkat Dian dalam tahap kehidupannya ini bisa kita lihat misalnya dalam puisi “Prosesi Pernikahan”, bercerita saat dirinya menikah. Saya kutipkan puisinya secara lengkap:

Prosesi Pernikahan

perawan tak boleh mandi
pada hari pernikahan
takut hujan datang
dan pesta bubar
ini rahasiaku
jangan kau sebarkan
sebab aku melanggar yang sakral

pagi putih
siang merah
simpul tubuhku penuh mantra
riasan wajahku penuh purnama

lihat baik-baik
perias itu melukis di kulitku
alis
mata
pipi
bibir
dan segalanya berubah
tak ada lagi cacat
tak terlihat pucat

aku duduk
menunduk
tak mau lagi
memakai sanggul yang berat ini
pukul delapan tiga puluh
calon pasanganku
dikalung bunga
dia meringis teringat ibunya sendiri

pukul delapan empat puluh
dia mengulang kalimat
karena terlampau bersemangat
dia lupa sepakat

peluit telah dibunyikan
iring-iringan musik mengantar
pelepasan
bahtera mulai mengambang
untung saja ombak tenang
semoga selalu begitu
selamanya

pukul sembilan tepat
penghulu undur diri
semua sepakat
kami telah diikat

wahai ayah,
tak ada lagi kau
di samping tubuhku
aku mengayuh sendiri
aku haru sendiri

wahai ibu,
tak ada lagi kau
ketika bangun nanti
aku yang menyiapkan segala
air mengepul
dapur harus berasap

pukul dua belas
azan datang
membawa bunga
dari surga katanya,
hai suamiku kau jangan cemburu
azan hanya mampir
mengingatkan
tubuh kita
tubuh pinjaman
milik tuan semata

ramai-ramai tamu memenuhi aula
digadang-gadangkan pesta pora
segala makanan dikeluarkan
hanya sekali aku menikah
ratu bagi diri sendiri

Lebih dalam lagi, tema-tema yang diangkat oleh Dian dalam Upacara Bakar Rambut ini banyak yang bertema kesedihan. Ini bisa kita lihat misalnya dalam “Aku Mencintaimu Bersama Kematian yang Datang” yang bercerita tentang kesunyian, tangis, kematian. Tema serupa bisa kita lihat dalam “Tubuh Pinjaman” yang juga bercerita tentang kematian, kesiapan bertemu dengan Tuhan. Bisa juga kita lihat dalam “Begitu Aku Berbisik di Telingamu” yang bercerita tentang sakit, kesedihan, menginginkan kesehatan. Juga masih bisa kita lihat dalam puisi-puisi lainnya seperti “Masa Lalu Laki-laki Bermata Merah”, “Menghapusmu, Kes...”, “Berjalan di Bawah Keranda” dan sebagainya. Sepintas puisi-puisi dari Dian ini seolah mirip sebagai obituari, kumpulan puisi obituari.
Bahkan saya sangat terharu ketika membaca “Aku Kehilangan si Peracik Mimpi”. Dalam puisi itu, Dian bercerita tentang bagaimana sedihnya kehilangan orang yang sangat ia sayangi. Dian bercerita:

sesekali aku akan pergi ke tempat lahirmu
berziarah dan menaburkan bunga
sementara ini, aku ingin menghabiskan kesedihan
menangis dan menangis


Yang menarik dari pemilihan tema-tema kesedihan ini, ketika di awal Dian mengungkapkan bahwa puisi merupakan media kebahagiaan diri. Namun pada kenyataannya, tema-tema yang dipilih Dian bukan tema-tema tentang kebahagiaan, justru tema-tema kesedihan. Dalam hati saya banyak bertanya-tanya, mungkinkah Dian bermaksud menulis puisi sebagai sarana pelipur lara? Apa ini yang dimaksud Dian bahwa puisi merupakan media kebahagiaan? Mungkinkah puisi dapat mengantarkan manusia menuju gerbang kebahagiaan?
Yang pasti, banyak harapan yang ingin dikembangkan Dian menjadi realitas diri. Secara keseluruhan, kumpulan puisi dalam Upacara Bakar Rambut ini bagi saya merupakan wujud nyata harapan-harapan Dian itu telah terwujud. Setidaknya, puisi sudah menjadi realitas bagi diri Dian. Dian adalah puisi, puisi adalah dian. Manunggaling penyair dan puisi. Pantas jika Dian menyebut bahwa puisi merupakan kado termahal bagi diri. Puisi adalah media kebahagiaan diri!


Mahasiswa Sosiologi FISIP UNS, Santri Bilik Literasi