Minggu, 09 Maret 2014

Marco Kartodikromo dan Imajinasi Berapi, oleh Bandung Mawardi di Jawa Pos 2 Maret 2014


Pengarang bisa dilupakan! Novel bisa disepelekan! Dua kalimat bertanda seru pantas diajukan saat kita meributkan para tokoh sastra berpengaruh di Indonesia. Ingat, sejak puluhan tahun silam, ada nama “disingkirkan” dari buku-buku resmi sejarah sastra di Indonesia: Marco Kartodikromo. Kita sulit menemukan Marco Kartodikromo dalam soal-soal ujian sekolah atau materi perkuliahan. Marco Kartodikromo pun jarang jadi obrolan oleh kalangan sastra, mengacu ke sejarah dan udar gagasan-imanijasi atas teks-teks sastra gubahan kaum bumiputra.
            Ingatan untuk Marco Kartodikromo (1890-1932) dimunculkan oleh Pawon Sastra di Balai Soedjatmoko Solo, 22 Februari 2014. Festival Sastra Solo 2014 mengundang publik mengikuti diskusi bertema “Student Hidjo dan Marco Kartodikromo” dengan pembicara Andreas Susanto (sejarawan) dan Muhidin M. Dahlan (esais dan peneliti sejarah). Novel Student Hidjo (1919) garapan Marco Kartodikromo, berlatar Solo di masa awal abad XX, menguak pelbagai gagasan-imajinasi pendidikan modern, pesona alat transportasi modern, bahasa “revolusioner”, kegamangan identitas, geliat pergerakan politik, arus transformasi kota, asmara di negeri terjajah.
            Kita bakal kaget jika membuka ulang halaman-halaman sejarah sastra modern di Indonesia. Para ahli sering menganggap sastra modern mulai dari episode Balai Poestaka, 1920-an. Novel-novel Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Sitti Nurbaja (Marah Roesli), Salah Asoehan (Abdoel Moeis) ditaruh sebagai “pemula”, berlatar kebijakan literasi kolonial dan kepentingan institusi kolonial demi “memberi” bacaan bagi kaum pribumi. Novel-novel Marco Kartodikromo tak termasuk sebagai penggerak awal kesusastraan modern di negeri terjajah. Buku-buku sejarah dan ulasan sastra oleh A. Teeuw, H.B. Jassin, Ajip Rosidi, Zuber Usman tak menempatkan Marco Kartodikromo sebagai pengarang modern: penggerak sastra kaum bumiputera. Novel-novel berjudul Mata Gelap, Student Hidjo, Matahariah juga enggan jadi acuan kehadiran teks sastra berlawanan dengan imperatif literasi kolonial.
Bakri Siregar dalam buku Sedjarah Sastera Indonesia Modern (1964) memberi catatan penting untuk peran Marco Kartodikromo: “Sastera Indonesia modern bermula dengan kesadaran nasional… dia dimulai dengan tradisi revolusioner jang dilaksanakan oleh Mas Marco Kartodikromo.”  Kita memang jarang mendapat informasi dan ulasan mengenai kebermaknaan novel-novel garapan Marco Kartodikromo. Kesadaran atas “nasionalisme” dan “Indonesia” diajukan oleh Marco Kartodikromo di jagat sastra dan pers. Ada pembedaan aksentuasi untuk mengungkapkan suara-suara kaum bumiputera di hadapan kolonial. Ungkapan di sastra menampilkan Marco Kartodikromo sebagai pengisah impresif meski tak tergoda memberi keberlimpahan pesan secara gamblang. Marco Kartodikromo justru mengajukan perkara dan dilema berkaitan identitas, bahasa, busana, kota, intelektualitas, kelas sosial, teknologi. Pelbagai hal itu tampil di Mata Gelap (1914) dan Student Hidjo (1919). Imajinasi tentang negeri terjajah mengalami “zaman kemadjoean” dan “zaman bergerak” disampaikan oleh Marco Kartodikromo dengan kesadaran bahasa baru: “Melajoe”.
Bahasa dan imajinasi Marco Kartodikromo tak menghamba ke kolonial. Pembedaan peran Marco Kartodikromo dengan para pengarang Balai Poestaka (1920-an) adalah kesanggupan “menantang” imperatif kolonial. Pembebasan dari dominasi kolonial mengakibatkan novel-novel Marco Kartodikromo adalah momok bagi “ketertiban dan kepatuhan” di Hindia Belanda. Novel menjadi sindiran dan perlawanan atas narasi kolonial. Rudolf Mrazek (2006) menganggap Student Hidjo adalah teks simptomatik, representasi “zaman bergerak”, sejak awal abad XX. Gejala kaum pribumi menjadi modern disuarakan oleh Marco Kartodikromo, bermula dari pengisahan “student” sebagai tokoh beridentitas modern sampai pemunculan narasi modernitas di kota-kota berlatar kolonialisme.
Kita pun ingat peran Marco Kartodikromo memang identik dengan idiom dan aksi bergerak. Marco Kartodikromo adalah redaktur Doenia Bergerak (Solo). Artikel-artikel dengan bahasa dan tema keras disajikan ke publik: bacaan mengubah nasib dan zaman. Peran sebagai pengarang dan jurnalis menggenapi ambisi Marco Kartodikromo “mencipta” sejarah baru bagi negeri terjajah, berbeda dengan kehendak kolonial atau kaum feodal. Marco Kartodikromo adalah “penggerak” meski jarang mendapat pengakuan dalam buku-buku resmi tentang pers dan sastra di Indonesia. Persembahan Mata Gelap, Matahariah, Student Hidjo adalah bukti dari “kemauan” menggerakkan sastra sebagai “tjahaja” untuk mengubah nasib kaum bumiputra dan negeri terjajah. Takashi Shiraishi (1979) menempatkan Student Hidjo sebagai referensi dari sejarah bergerak, bahasa bergerak, politik bergerak, identitas bergerak, nasib bergerak, ideologi bergerak, modernitas bergerak. Marco Kartodikromo tentu pantas dihormati sebagai penggerak. Kita juga perlu memberi pengakuan bahwa Marco Kartodikromo adalah pengarang modern di seberang dominasi kolonial.
Ingatan atas Marco Kartodikromo dan novel-novel “bergerak” memberi pesan bagi kita bahwa imajinasi bisa menjadi “api”, membarakan misi perubahan dan kehendak melawan kolonialisme. Novel adalah api! Marco Kartodikromo sengaja membarakan Hindia Belanda, mengubah narasi negeri terjajah. Imajinasi berapi tak pernah padam, memberi referensi bagi pembentukan “Indonesia” dan kemodernan. Marco Kartodikromo telah beraksi dan memberi warisan meski kita terlalu lama melupakan.
Lakon kolonialisme terus “menghancurkan” Marco Kartodikromo. Peminggiran atau penghilangan novel-novel dijalankan demi literasi bercap kolonial. Penguasa membuang Marco Kartodikromo ke Boven-Digoel (1927). Marco Kartodikromo dijauhkan dari pusat pergerakan. Novel-novel ingin diabsenkan oleh kolonial dari para pembaca. Nasib tak berpihak. Di Boven Digoel, Marco Kartodikromo (2 Desember 1931) menulis renungan: “Pekerdjaan jang seberat-beratnja di doenia ini memang mendjadi penoentoen rakjat jang sedang dalam kegelapan. Dan pekerdjaan sematjam itoe tak moengkin mendatangkan kenikmatan, kekajaan, kesenangan, sebaliknja boei, boeang, dan ada kalanja digantoeng.” Hidup Marco Kartodikromo berakhir secara tragis di Boven Digoel (19 Maret 1932), akibat malaria. Warisan-warisan berwujud artikel dan novel dipersembahkan bagi Indonesia meski kita “melupakan” selama puluhan tahun. Para ahli sastra pun sering menaruh novel-novel Marco Kartodikromo dalam “kegelapan”, berdalil ideologi atau pembakuan sastra modern di Indonesia. Aduh!   

  
Dimuat di Jawa Pos, 2 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar