Solo (1)
Rendra
menulis puisi, mengingatkan pembaca pada ruang publik di Solo, bernama
Sriwedari. Puisi berjudul Pasar Malam Sriwedari, Solo mendeskripisikan
suasana pasar malam Sriwedari pada tahun 1970-an, mengisahkan orang-orang mencari
hiburan, petualangan, iseng. Rendra menuliskan puisi itu sebagai bentuk
pengalaman ketika bermukim di Solo.
Rendra
menulis: Di tengah lampu aneka warna,/ balon mainan bundar-bundar/ rok-rok
pesta warna,/ dan wajah-wajah tanpa jiwa, kita jagal sendiri hati kita, /
setelah telinga jadi pekak/ dan mulut terlalu banyak tertawa/ dalam dusta yang
murah/ dan bujukan yang hampa. Sriwedari sebagai pusat hiburan-kesenian
pada masa itu memiliki kekhasan bagi publik di Solo. Pasar malam adalah keramaian acara, hiburan,
orang, suasana. Pelbagai hiburan dihadirkan dari tradisional sampai modern.
Para pedagang menjajakan dagangan, dari makanan-minuman sampai mainan bocah.
Pengamatan
Rendra terhadap pasar malam Sriwedari terasa kritis, tampak dari ungkapan “wajah-wajah
tanpa jiwa”, mengesankan terjadi krisis batin dalam diri para pengunjung.
Alasan lazim diajukan saat orang datang ke Pandangan kritis itu mengandung
persoalan besar, mengabarkan kondisi manusia-manusia di arus pertumbuhan kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar