Pengarang bisa dilupakan! Novel bisa
disepelekan! Dua kalimat bertanda seru pantas diajukan saat kita meributkan
para tokoh sastra berpengaruh di Indonesia. Ingat, sejak puluhan tahun silam,
ada nama “disingkirkan” dari buku-buku resmi sejarah sastra di Indonesia: Marco
Kartodikromo. Kita sulit menemukan Marco Kartodikromo dalam soal-soal ujian sekolah
atau materi perkuliahan. Marco Kartodikromo pun jarang jadi obrolan oleh
kalangan sastra, mengacu ke sejarah dan udar gagasan-imanijasi atas teks-teks
sastra gubahan kaum bumiputra.
Ingatan
untuk Marco Kartodikromo (1890-1932) dimunculkan oleh Pawon Sastra di Balai
Soedjatmoko Solo, 22 Februari 2014. Festival Sastra Solo 2014 mengundang publik
mengikuti diskusi bertema “Student Hidjo dan Marco Kartodikromo” dengan pembicara
Andreas Susanto (sejarawan) dan Muhidin M. Dahlan (esais dan peneliti sejarah).
Novel Student Hidjo (1919) garapan Marco Kartodikromo, berlatar Solo di
masa awal abad XX, menguak pelbagai gagasan-imajinasi pendidikan modern, pesona
alat transportasi modern, bahasa “revolusioner”, kegamangan identitas, geliat
pergerakan politik, arus transformasi kota, asmara di negeri terjajah.
Kita
bakal kaget jika membuka ulang halaman-halaman sejarah sastra modern di Indonesia.
Para ahli sering menganggap sastra modern mulai dari episode Balai Poestaka,
1920-an. Novel-novel Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Sitti Nurbaja
(Marah Roesli), Salah Asoehan (Abdoel Moeis) ditaruh sebagai “pemula”,
berlatar kebijakan literasi kolonial dan kepentingan institusi kolonial demi “memberi”
bacaan bagi kaum pribumi. Novel-novel Marco Kartodikromo tak termasuk sebagai
penggerak awal kesusastraan modern di negeri terjajah. Buku-buku sejarah dan
ulasan sastra oleh A. Teeuw, H.B. Jassin, Ajip Rosidi, Zuber Usman tak menempatkan
Marco Kartodikromo sebagai pengarang modern: penggerak sastra kaum bumiputera.
Novel-novel berjudul Mata Gelap, Student Hidjo, Matahariah
juga enggan jadi acuan kehadiran teks sastra berlawanan dengan imperatif
literasi kolonial.
Bakri Siregar dalam buku Sedjarah Sastera
Indonesia Modern (1964) memberi catatan penting untuk peran Marco
Kartodikromo: “Sastera Indonesia modern bermula dengan kesadaran nasional… dia
dimulai dengan tradisi revolusioner jang dilaksanakan oleh Mas Marco
Kartodikromo.” Kita memang jarang
mendapat informasi dan ulasan mengenai kebermaknaan novel-novel garapan Marco
Kartodikromo. Kesadaran atas “nasionalisme” dan “Indonesia” diajukan oleh Marco
Kartodikromo di jagat sastra dan pers. Ada pembedaan aksentuasi untuk
mengungkapkan suara-suara kaum bumiputera di hadapan kolonial. Ungkapan di
sastra menampilkan Marco Kartodikromo sebagai pengisah impresif meski tak tergoda
memberi keberlimpahan pesan secara gamblang. Marco Kartodikromo justru
mengajukan perkara dan dilema berkaitan identitas, bahasa, busana, kota, intelektualitas,
kelas sosial, teknologi. Pelbagai hal itu tampil di Mata Gelap (1914)
dan Student Hidjo (1919). Imajinasi tentang negeri terjajah mengalami
“zaman kemadjoean” dan “zaman bergerak” disampaikan oleh Marco Kartodikromo
dengan kesadaran bahasa baru: “Melajoe”.
Bahasa dan imajinasi Marco Kartodikromo tak
menghamba ke kolonial. Pembedaan peran Marco Kartodikromo dengan para pengarang
Balai Poestaka (1920-an) adalah kesanggupan “menantang” imperatif kolonial.
Pembebasan dari dominasi kolonial mengakibatkan novel-novel Marco Kartodikromo
adalah momok bagi “ketertiban dan kepatuhan” di Hindia Belanda. Novel menjadi sindiran
dan perlawanan atas narasi kolonial. Rudolf Mrazek (2006) menganggap Student
Hidjo adalah teks simptomatik, representasi “zaman bergerak”, sejak awal
abad XX. Gejala kaum pribumi menjadi modern disuarakan oleh Marco Kartodikromo,
bermula dari pengisahan “student” sebagai tokoh beridentitas modern sampai pemunculan
narasi modernitas di kota-kota berlatar kolonialisme.
Kita pun ingat peran Marco Kartodikromo memang
identik dengan idiom dan aksi bergerak. Marco Kartodikromo adalah redaktur Doenia
Bergerak (Solo). Artikel-artikel dengan bahasa dan tema keras disajikan ke
publik: bacaan mengubah nasib dan zaman. Peran sebagai pengarang dan jurnalis
menggenapi ambisi Marco Kartodikromo “mencipta” sejarah baru bagi negeri
terjajah, berbeda dengan kehendak kolonial atau kaum feodal. Marco Kartodikromo
adalah “penggerak” meski jarang mendapat pengakuan dalam buku-buku resmi
tentang pers dan sastra di Indonesia. Persembahan Mata Gelap, Matahariah,
Student Hidjo adalah bukti dari “kemauan” menggerakkan sastra sebagai
“tjahaja” untuk mengubah nasib kaum bumiputra dan negeri terjajah. Takashi
Shiraishi (1979) menempatkan Student Hidjo sebagai referensi dari
sejarah bergerak, bahasa bergerak, politik bergerak, identitas bergerak, nasib
bergerak, ideologi bergerak, modernitas bergerak. Marco Kartodikromo tentu
pantas dihormati sebagai penggerak. Kita juga perlu memberi pengakuan bahwa
Marco Kartodikromo adalah pengarang modern di seberang dominasi kolonial.
Ingatan atas Marco Kartodikromo dan novel-novel
“bergerak” memberi pesan bagi kita bahwa imajinasi bisa menjadi “api”,
membarakan misi perubahan dan kehendak melawan kolonialisme. Novel adalah api!
Marco Kartodikromo sengaja membarakan Hindia Belanda, mengubah narasi negeri
terjajah. Imajinasi berapi tak pernah padam, memberi referensi bagi pembentukan
“Indonesia” dan kemodernan. Marco Kartodikromo telah beraksi dan memberi
warisan meski kita terlalu lama melupakan.
Lakon kolonialisme terus “menghancurkan” Marco
Kartodikromo. Peminggiran atau penghilangan novel-novel dijalankan demi
literasi bercap kolonial. Penguasa membuang Marco Kartodikromo ke Boven-Digoel
(1927). Marco Kartodikromo dijauhkan dari pusat pergerakan. Novel-novel ingin
diabsenkan oleh kolonial dari para pembaca. Nasib tak berpihak. Di Boven
Digoel, Marco Kartodikromo (2 Desember 1931) menulis renungan: “Pekerdjaan jang
seberat-beratnja di doenia ini memang mendjadi penoentoen rakjat jang sedang
dalam kegelapan. Dan pekerdjaan sematjam itoe tak moengkin mendatangkan
kenikmatan, kekajaan, kesenangan, sebaliknja boei, boeang, dan ada kalanja
digantoeng.” Hidup Marco Kartodikromo berakhir secara tragis di Boven Digoel (19
Maret 1932), akibat malaria. Warisan-warisan berwujud artikel dan novel
dipersembahkan bagi Indonesia meski kita “melupakan” selama puluhan tahun. Para
ahli sastra pun sering menaruh novel-novel Marco Kartodikromo dalam
“kegelapan”, berdalil ideologi atau pembakuan sastra modern di Indonesia. Aduh!
Dimuat di Jawa Pos, 2 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar