Solo telah berusia 269 tahun. Kota ini mulai
menjadi acuan tema politik, sejak kemunculan tokoh bertubuh kurus: Joko Widodo.
Solo dibentuk oleh Joko Widodo sebagai “kota panggung”, “kota karnaval”, “kota
tontonan”. Pelbagai seni pertunjukan, karnaval, festival seni, tontonan kolosal
di jalan sering diadakan demi mengisahkan Solo di mata publik. Agenda itu masih
berlanjut sampai sekarang meski Joko Widodo sudah menjadi penguasa di Jakarta.
Selebrasi ulang tahun Solo menjadi dalil bagi
pemerintah menggelar acara-acara demi pengesahan Solo sebagai kota moncer dalam
urusan kultural, seni, investasi, pariwisata, industri-kreatif. Kegandrungan
membuat pelbagai acara melibatkan ribuan orang di panggung, jalan, benteng,
lapangan mengakibatkan pemerintah dan publik melupakan Solo sebagai pusat
sastra di Nusantara, sejak ratusan tahun silam.
Di kelender kultural buatan pemerintah, acara
sastra tak pernah tercantum. Pemerintah menganggap sastra tak memberi
kontribusi bagi peradaban dan kemonceran kota. Sastra sebagai selebrasi kata
dan makna hampir disepelekan. Semaian imajinasi melalui teks-teks sastra
tradisional dan modern sulit diakui memberi jiwa kota, mempengaruhi arus
pembentukan identitas manusia kota. Kebijakan pemerintah mengelola kota memang
jarang “mengesahkan” sastra sebagai basis sejarah dan masa depan kota.
Kita
masih mendapat ingatan kecil dari agenda sederhana oleh kumpulan pengarang muda
di Solo, menghimpun diri di Pawon Sastra. Mereka mengadakan Festival Sastra
Solo, 22-23 Februari 2014. Ada dua acara berkaitan Solo meski tak berkaitan
dengan selebrasi ulang tahun Solo. Pawon mengadakan diskusi bertema “Student
Hidjo dan Marco Kartodikromo”, 22 Februari 2014. Siapa Marco Kartodikromo?
Apakah makna novel Student Hidjo bagi Solo dan Indonesia?
Diskusi menghadirkan dua pembicara: Andreas
Susanto (sejarawan) dan Muhidin M. Dahlan (esais). Mereka memberi ulasan
sugestif dan impresif mengenai Solo, mengacu ke Marco Kartodikromo sebagai
pengarang dan wartawan. Imajinasi Solo pun terungkap dengan ulasan novel
berjudul Student Hidjo (1919) garapan Marco Kartodikromo. Publik
perlahan insaf bahwa Solo awal abad XX termaktub dalam novel lawas.
Marco Kartodikromo adalah pengelola surat kabar Doenia
Bergerak (2014), terbit di Solo. Surat kabar menjadi representasi geliat
pers dan pergerakan politik. Kontribusi Marco Kartodikromo melalui Doenia
Bergerak bisa dilacak dari peristiwa-peristiwa politik dan kultural di
Solo. Seruan-seruan melawan feodalisme dan kolonialisme sering tersaji di Doenia
Bergerak. Publik pun mendapat bacaan kritis saat mengalami “zaman
bergerak”. Ingatan kita tentang Sarekat Islam, sengketa perdagangan-ekonomi,
ambisi pendidikan modern, perlawanan atas dominasi raja-keraton bisa ditemukan
dalam Doenia Bergerak. Seratus tahun silam, pers turut menentukan
perubahan sosial, politik, kultural di Solo. Doenia Bergerak membuat
Solo bergerak, meninggalkan masa suram menuju impian “kemadjoean”.
Student Hidjo berkisah tentang pendidikan modern,
perubahan kota, pesona alat transportasi modern, sejarah pergerakan politik.
Pembaca bisa mengimajinasikan Solo saat berubah di masa kolonialisme. Marco
Kartodikromo mengisahkan impian menjadi manusia modern, situasi Sriwedari,
kemonceran Sarekat Islam, birokrasi kolonial. Novel adalah rujukan imajinasi
dan kesejarahan. Student Hidjo pun berarti dokumentasi dari kesejarahan
Solo.
Selebrasi mengenang dan mengimajinasikan Solo
bersambung dalam acara peluncuran buku berjudul Solo dalam Puisi (2014).
Buku Solo dalam Puisi adalah persembahan para pujangga untuk
mendokumentasikan Solo, dari masa ke masa. Ada 85 pujangga dan 101 puisi, berkisah
tentang segala hal di Solo. Mengenang Solo bisa dilakukan dengan membaca
puisi-puisi lawas gubahan Sutan Takdir Alisjahbana, Rendra, Hartojo
Andangdjaja, Wiji Thukul. Mereka menulis Solo dengan kata-kata bergelimang
imajinasi dan kesejarahan. Sutan Takdir Alisjahbana mengenang pohon beringin.
Rendra dan Wiji Thukul mengenang Sriwedari. Hartojo Andandjaja menulis tentang
rasa cinta dan rindu bagi Solo. Puisi para pujangga lawas diimbuhi dengan
puluhan puisi dari para pujangga mutakhir, berasal dari Solo dan pelbagai kota
di Indonesia.
Hartojo Andangdjaja dalam puisi berjudul Salam
Terakhir (1973) mengisahkan: Kau
bagiku, kota yang melambai dalam rinduku/ lebih dari seorang kekasih, seorang
ibu/rinduku kepadamu/ ialah rindu yang dihidupkan kenangan masa kanakku.
Bait impresif, mengartikan Solo dengan luapan cinta dan rindu tak tertahan.
Solo menjadi kota bergelimang imajinasi, bertaburan kata.
Festival Sastra Solo 2014 adalah hajatan kecil,
mengingatkan kita tentang Solo sebagai kota sastra, sejak ratusan tahun silam.
Sejarah Solo, sejarah sastra. Ingatan kita bakal mengarah ke Jasadipura II,
Paku Buwana IV, Mangkunegara IV, Ranggawarsita, Padmasusastra. Ingatan untuk
sastra mutakhir juga menjelaskan peran para pengisah Solo melalaui puisi,
novel, cerpen, drama. Kita mengenang pengarang-pengarang era modern: Jasawidagdo,
Muhamad Dimjati, Arti Purbarini, Kho Ping Hoo. Mereka turut menulis tentang Solo.
Kota mesti memuat kata dan kita. Pengharapan ini
sindiran bagi gejala menjadikan kota adalah “kota panggung”, “kota karnaval”,
“kota tontonan”. Kota bersastra adalah kota bergelimang imajinasi, memberi rangsangan
bagi publik mengisahkan dan memaknai kota dengan kata-kata, dari masa ke masa.
Begitu.
Dimuat di Koran Sindo, 9 Maret 2014